Suasana di kantor agak muram kemarin. Salah seorang rekan guru baru saja mengabari dengan isakan tertahan kalau dia ijin tidak mengajar selama beberapa minggu karena anaknya akan dioperasi. Kata dokter tulang belakangnya retak. Harus dioperasi. Rumah sakit umum di kotaku yang kecil ini tak sanggup menanganinya. Ia pun dirujuk ke rumahsakit di Jakrta. Tentu saja kami semua yang ada didalam ruangan ini terkejut dan prihatin. Anaknya yang akan dioperasi itu namanya Rachel. Sepanjang ingatan kami, Rachel itu sehat-sehat saja. Malah, minggu lalu pernah main ke sekolah waktu menjemput ibunya. Senyum yang tersungging diwajahnya begitu ceria. Sama sekali tak ada indikasi bahwa dia ternyata menderita sakit.
Rachel dibawa kerumah sakit ketika suatu pagi dia pinsan selama beberapa menit dirumah. Tetapi setelah siuman dan merasa agak baikan, dia bersikeras ke sekolah. Ternyata sampai disekolah, dia pinsan lagi. Berkali-kali dalam seharian itu. Gurunya pun menghubungi orang tuanya. Malam harinya Rachel dibawa ke dokter praktek. Dari dokter praktek itu, Rachel dianjurkan kerumah sakit untuk rontgen. Hasil rotngen sangat mengejutkan orang tua Rachel. Tenyata tulang belakang anak itu retak. Ibunya tidak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Menurutnya Rachel selama ini baik-baik saja. Setelah ditelusuri, Rachel pun mengaku bahwa ia pernah jatuh pada saat mengendarai motor beberapa minggu lalu. Dia tidak memberitahu ibunya karena ia tahu ibunya pasti akan panik sekali. Apalagi tidak ada darah yang keluar (pikiran remajanya menganggap bahwa tidak ada darah berari tidak apa-apa). Dan benar saja, pada saat diberitahu begitu, ibunya langsung panik. Rachel mengaku pada ibunya bahwa terkadang dia agak sebal pada sikap panik ibunya terhadap apapun. Jadi dia memilih diam. Sayangnya sikapnya itu berakibat fatal bagi dirinya. Karena menurut dokter, sebenarnya semuanya tidak akan separah ini jika ditangani lebih awal.
Mendengar alasan Rachel, saya jadi teringat pada beberapa kisah serupa. Pertama adalah kisah saya sendiri. Saya sangat mengerti sikap Rachel yang memilih diam ketimbang memberi tahu ibunya bahwa dia baru saja jatuh dari motor. Memang sangat tidak mengenakkan ketika kita dalam kondisi sakit dan juga tentu saja takut, malah diperhadapkan dengan sikap orang tua yang agak tidak tenang. Malah lebih panik ketimbang kita. Dan kepanikannya itu tertuang dalam ocehan-ocehan histeris bahkan air mata. Siapa sih yang nyaman dengan situasi itu??
Dulu, waktu masih kecil saya sangat senang manjat pohon bersama teman-teman. Main tarzan-tarzanan, monyet-monyetan, dan sebagainya. Rasanya menyenangkan sekali bergelayut di atas peopohonan itu. tapi tiba-tiba saya terjatuh. Tingginya sekitar 4 atau 5 meter. Saya pun pulang sembari menangis meraung-raung waktu itu. Saya mengaduh pada ibu saya. Yang terjadi ibu saya sagat cemas dan panik. Beliau pun memandikan saya dengan air panas kemudian mengurut saya, sembari tak henti-hentinya mengomel dan mewanti-wanti. Saya, yang pada waktu itu masih kecil, belum bisa mengapresiasi bentuk kasihsayang ibu padaku. Yang ada dalam pikiran anak kecil saya adalah ibu marah dan sebal kepadaku. Beliau kemudian melarang saya untuk manjat pohon lagi. Beliau mengancam kalau nanti kedapatan manjat pohon saya bakal diikat dipohon jambu dekat rumah semalaman.
Mestinya saya mendengar laragan ibu. Tetapi namanya juga anak kecil, mana bisa dilarang-larang. Apalagi waktu itu ibu tidak menjelaskan akibat-akibatnya kalau jatuh apa. (Mungkin walaopun dijelaskan saya juga tetap ngeyel, hehehe). Maka saya tetap memanjat pohon sembunyi-sembunyi. Sampai suatu hari saya terjatuh lagi kali ini pada dahan pohon yang lebih tinggi. Saya terjatuh dengan keadaan tengkurap. Dada saya menghantam tanah dengan keras. Sakitnya luar biasa. Bahkan saya sempat tidak bisa bicara. Nyaris tidak dapat bernafas. Saya menagis dalam diam. Teman-teman saya pada panik. Mereka menggotong saya kerumah teman yang terdekat. Setelah beberapa menit saya sudah bisa bicara. Saya meminta pada teman-teman agar merahasiakan hal ini pada siapapun. Terutama ibu saya. Mereka pun berjanji tidak akan bilang-bilang.
Saya merasa sakit selama seminggu, tetapi tidak saya perlihatkan pada orang rumah. Lepas seminggu saya merasa semuanya kembali normal. Orang tua saya pun tak pernah tahu sampai ketika memasuki usia sekitar 17 tahunan, saya sering batuk, sesak nafas, dan kalau capek, dada saya sakit sekali. Ibu saya sangat khawatir,saya pun dibawa ke dokter. Dokter bertanya apakah saya pernah jatuh, saya pun mengiyakan dan menceritakan kronolgisnya pada dokter dan orang tua saya. Dokter bilang bahwa itulah awal masalahnya. Seandainya waktu itu saya langsung diurut tentu tidak akan seperti ini. Saya menyesal sekali. Kebungkamanku dahulu membawa dampak yang buruk bagi diri saya.
Kisah serupa juga terjadi pada tetangga saya. Sewaktu kecil dia pernah jatuh. Tetapi dengan alasan yang sama dengan saya dan juga Rachel, dia memilih diam. Semuanya memang terlihat normal selama beberapa tahun. Tapi siapa sangka bahwa efeknya justru akan terasa setelah dewasa. Sekarang tetanggaku itu agak bungkuk. Ada tulang belakangnya yang bengkok. ketika saya menyentuhnya saya merasa takut. Dia tumbuh makin kecil dari hari ke hari. Sangat kurus dan sering sesak nafas.
Sungguh sebenarnya kisah serupa sangat banyak ditemui dimasyarakat. Dan ketika ditanya pada si aanak pun mereka kompak memiliki jawaban yang sama. Takut mengadu karena tahu bahwa orang tuanya sangat panikan. Bahkan banyak juga orang tua yang menagani sembari mengomel tak henti-henti. Anak-anak, yang pikirannya belum paham benar tentu saja merasa takut. Jadi ketimbang mengadu, mereka malah memilih diam.
Apa yang bisa dipelajari dari kisah-kisah ini adalah bahwa sebelum menikah, sebaiknya ada pelatihan tentang masalah-masalah rumah tangga, termasuk masalah anak. Bagaimana sebaiknya sikap mereka jika menghadapi masalah yang beruhubungan dengan anak (contohnya ya untuk kasus seprti diatas) agar mereka tidak lantas panik berlebihan yang hanya akan membuat anak merasa tidak nyaman atau takut mengadukan sakitnya. Sudah begitu banyak anak yang mendapatkan akibat fatal dikemudian hari karena tidak mendapat penanganan yang cepat dan tepat dikarenakan anak terlalu takut untuk mengadu pada orang tuanya. Tentu saja akan lain cerita jika anak dihadapkan pada kondisi dimana pada saat mengadu, orang tua bisa lebih tenang dan bijak. Karena bagi anak-anak, sikap tenang orang tua dapat diartikan bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Sehingga mereka pun bebas berkeluh kesah tanpa beban sedikitpun. Orang tua juga bisa mendapat informasi yang lebih terang tentang anaknya, sehingga tahu bagaimana harus bertindak.
Saya sangat berharap bahwa kedepannya para orang tua bisa banyak belajar dan lebih tenang dalam menghadapi pengaduan anak-anaknya sehingga kisah-kisah diatas tidak perlu terjadi lagi.
No comments:
Post a Comment