Friday, October 13, 2017


"This is how I enjoy my pain in the misery of longing someone so much." I heard "S" wishpered those words to the cloud and to the autumn leaves in the Fort Royal Garden. I did not do anything but being there, witnessing the tears fell in a silence. 

A man from this morning




Hey You,

This is another story for you. I met a man on my way to campus this morning. We were waiting for the same bus that would bring us to the center. He was the first who smiled to open the convo. I couldn't help smiling when he said "waiting,, waiting and waitiiing.." Then we talked about Brist exhilaratery. Our bus came in view secs later. He went upstair and I went to the ground desk. I intended to do so as.., well you know me, I am not a social butterfly, so talking with stranger more than 5 minutes was a bit unpleasant for me. Exception was with you for the first time, of course. That's why I didnt go upstair like I used to.

I jumped out of the bus in the Bond Street. It was unintentional as I planned to stop in the Ruppert Street so I could catch the Bus number 9 to bring me to ASSL. Then, in front of the St. Peter Hospice's display window, a windbreaker catched my eyes, so I came in. Woow... You know what I got there? Definitely treasure, hehehe. I bought a gorgeous, pink, and relatively new Mark & Spencer windberaker for winter season with only £12. I was lucky, wasn't I? After I paid it, I went to the Ruppert Street. And there we met again. By we, I mean the man and I.

Like before, he was the one smiling first.
"Hey, it's you again!" he screamed. I smiled back (and laughed a bit)
"Yeah I know, hahaha".
"Working or going to college?"
"the second one"
"Oh alright!!, number one, two, three, four, eight?" he suggested
"Nine!" I heard myself saying that.
"Mine is eight. I am Rob, BTW I am a chef"
"Hi, Rob, Me is Ririn. And wow.. chef's cool. What food you cook?"
"Anything" He answered proudly. "I could definitely make delicious food. I have magician hands" He continued.
"yeah, I can see that"

The convo went on and on. His bus came and we separated once again. Before he entered the bus, he said "we'll meet again, I bet. It's our destiny" and all I could do was laughing.

Well, that's what I want to share with you today. Please text me when you have time.

Or when you miss me.


Thursday, October 12, 2017

Some things are better remain unspoken




Aku selalu berfikir, bahwa banyak hal-hal yang sebaiknya tak kuketahui saja dalam hidup ini. Sepertinya, hidupku mungkin akan lebih tenang dengan begitu. Tak perlu ada prejudice dalam berinteraksi dengan orang lain karena kepalaku sebelumnya sudah dipenuhi dengan pengetahuan tentang si A atau si B yang begini dan begitu. Aku ingin pikiranku bisa bebas dari semua itu. Sehingga aku hanya bisa melihat sisi baiknya saja dan mungkin percaya pada sikap baik yang sedang si A atau si B ini ingin tunjukkan. Apalagi, sebenarnya aku bukan manusia super kepo dengan kehidupan orang lain.

Tetapi, hidup mengajarkan bahwa ada beberapa keadaan yang sulit kita hindari. Mengetahui suatu rahasia salah satunya. Rahasia yang lumayan kelam, sayangnya. Sehingga penilaian kita dan perlakuan kita akan berbeda kepada seseorang yang kita ketahui rahasianya itu. Apapun yang coba dia citrakan akan gagal menarik simpati kita. Pada saat yang sama, kita juga harus berpura-pura bahwa kita tidak tahu apa-apa. Menurutku itu adalah hal yang sangat melelahkan sekaligus menjijikkan.

Tapi, seperti yang kubilang tadi, ada banyak hal yang tak bisa dihindari seiring perjalanan menjadi dewasa. Mungkin aku hanya harus menata kembali sikap dan pola pikirku dalam memandang sesuatu. Tidak ada yang benar-benar hitam dan tidak ada yang benar-benar putih. Wilayah abu-abu itu nyata adanya. Semua orang datang dengan sejarah dan latar belakangnya masing-masing. Ada hal yang menjadi alasan mengapa seseorang melakukan ini dan itu. Mungkin juga itu mereka lakukan setelah menghadapi dilema dengan dirinya sendiri. Perang dengan norma dan nilai-nilainya sendiri. And who am  I to judge?

Who the hell am I to judge?


Tuesday, October 10, 2017

Kehangatan di dalam bus


Wills Memorial Building


Hey,

Seperti janjiku, aku akan bercerita tentang Bristol hari ini. Maaf, tidak kusampaikan lewat WA atau DM di Instagram seperti yang biasa kita lakukan. Simply, karena aku rindu menulis di sini.

Jadi, tadi, di bus dalam bus yang akan mengantarku ke Ruppert Street, ada suatu kejadian yang lumayan membuat hatiku menghangat. Ada salah seorang penumpang yang tak sengaja menumpahkan hot chocolatenya, yang untungnya sudah tinggal sedikit. Tapi, tetap saja, tumpahan itu mengotori lantai dan terancam mengalir kemana-mana seiring pergerakan bus yang kadang tidak mulus. Tampak wanita yang menumpahkan minumannya itu sedikit panik. Dia sempat diam, mungkin bingung apa yang harus dilakukan. Sempat juga melirik kiri dan kanan dengan tatapan meminta maaf dan meminta untuk tidak dihakimi oleh penumpang yang lain. Aku sebenarnya merutuk dalam hati karena aku tumben-tumbennya lupa membawa tissue. Padahal, jika aku bawa, mungkin bisa dipakai untuk membantu. Wanita yang menumpahkan minuman dan aku menatap ngeri aliran cairan yang mulai melebar ke mana-mana.

Lalu, tibalah saat yang menghangatkan hatiku itu. Seorang wanita tua, dengan tersenyum memberikan tissue yang sudah dilebar-lebarkannya untuk membantu mengelap tumpahan coklat di lantai bus. Menyusul, beberapa penumpang, yang muda dan remaja, bangkit menawarkan beberapa kertas yang bisa dipakai untuk mengeringkan tumpahan di lantai. Denganw ajam penuh senyum dan empati, tentu saja. Dalam sekejab, masalah bisa teratasi dan sang wanita tadi pun terlihat sangat lega. Dia tak henti mengucapkan terimakasih.

Setelah itu, dalam tiga menit aku merenung sendiri. Peristiwa tadi udah usai dan bekasnya seakan tak tampak lagi, karena setelah masalah beres, semua kembali pada apa yang tadi tengah mereka lalukan sebelum kejadian tumpahnya coklat hangat itu. Tapi, momen awet dalam hatiku, bahkan hingga saat ini. Aku baru saja disajikan cinta yang menghangatkan. Cinta tanpa kotak-kotak dan sekat. Di negeri yang sering dituduh rasis ini, aku menemukan sisi kemanusiaan yang sudah lama aku cari. Yang menumpahkan coklat tadi adalah wanita asal somalia (menilik pada penampilannya), dan yang mereka yang membantunya adalah warga asli Inggris. Dalam bus ini, aku tidak melihat tuduhan yang membenarkan bahwa warga kulit putih agak sedikit anti dengan mereka yang kulitnya berbeda warna. Dan aku suka. Aku suka dunia yang dipenuhi dengan cinta. Cinta yang tidak membedakan manusia.

Ah, kalaulah kamu ada di sini, mungkin kita akan membahas ini sedikit lebih lama sambil menyeruput kopi di kedai favorit kita. Lalu, percakapan kita akan melebar kemana-mana, tertawa dan saling menggoda. Tapi kau tidak di sini, sayang sekali. 

Friday, October 06, 2017

Menuju Desember



Pada dedaunan yang mulai memerah,
Lalu kemudian berguguran...

Pada angin yang kian dingin,
Menyapa sampai pelosok sendi,

Pada langit yang tak selalu biru,
Kebanyakan abu-abu belakangan ini...

Kukabarkan usia perpisahan kita,
yang kian menjadi sempit setiap harinya.

Desember yang kutunggu
Saat aku bisa meneggelamkan diri.

Pada senyum,
yang selalu lebih dulu hadir di matamu.


Bristol,
Oct ‘17.