Wednesday, July 12, 2017

That Gaze

Jadi, perempuan itu menyadari matanya terasa kian perih. Mungkin karena kering dan letih terpapar radiasi, baik dari handphone maupun laptopnya. Maka, dengan sengaja dia melepas kacamata dan memijat kelopak matanya dengan lembut. Dari yang diniatkannya cuman semenit, molor menjadi tujuh menit. Ketika membuka matanya kembali, layar lappy telah menjadi hitam dan menjelma cermin. Tidak cukup terang, tapi apa yang dia liat jelas adanya. Sepasang mata.

Dia melihat saya pada layar laptop yang telah menghitam. Dia menatap saya tajam, berusaha memasuki jiwa saya. Mencari teman. Mencari sekutu. Wajar saja, selama ini yang benar-benar mengerti dia adalah saya. Saya tentu tidak menolak. Sudah lama kami tidak saling bercengkrama dengan cara seperti ini. Melalui tatap balik yang saya tujukan padanya, saya berusaha mentransfer kekuatan dan semangat. Saya tahu dia lelah dan sempat down beberapa hari terakhir ini. Tetapi, saya bangga dia tetap memilih melangkah maju walau seluruh tubuhnya gemetar oleh badai di hadapannya, siap menelannya hidup-hidup. Dia telah memilih untuk tidak lari. Saya bangga. Saya bangga padanya.

Hai, aku senang mendapati kamu ada di situ. Aku tahu kau tak pernah benar-benar meninggalkanku sendiri, kan? Aku mengenali seberkas prihatin yang kau tak bisa kau sembunyikan dariku itu. Terima kasih. Kau begitu perhatian dan simpatik. Tapi hey, tenanglah, aku tak selemah itu. Sini, kuceritakan sesuatu padamu. Tadi aku akhirnya memutuskan untuk bangkit dan melangkah menghadapi rasa takutku, yang ternyata cuman besar dalam imajinasiku saja. Faktanya, masalahku tidaklah sebesar itu. Bahkan jika besar, aku punya Allah yang jaaaauh lebih besar, benar kan?

Usai berkata begitu, dia lalu tersenyum memberi kekuatan kepada saya, dirinya sendiri.  

No comments: