Tuesday, August 01, 2017

PhD? Sebuah perjalanan sunyi?





Ditemani Chocolate Frape favorite yang kubeli di 168 (Chinese Store di Park Street), aku kembali menceburkan diri dalam lautan eh danau eh kolam daftar bacaan yang menjadi targetku hari ini. Dalam prosesnya, kadang terasa menyenangkan (tanpa sangat) dan sering bikin setress karena walaupun sudah kubaca berulang kali tetap tidak paham juga. Sigh. Kalau sudah seperti ini, aku biasanya mengambil jeda sejenak (meski sering bablas, hehehe) dengan bersosmed ria. Kalau sekarang ini, lebih ke ngecek IG sama ngeblog. Yang aku pastikan adalah jangan berhenti dari proses ini. Haram hukumnya. Karena, sekali berhenti, mau mulai lagi bisa susah.

Banyak orang bilang, lanjut PhD itu serupa dengan mengambil jalan panjang nan sunyi. Mungkin sekilas sih terlihat ringan aja ya. Masuk kelas jarang, tidak seperti teman-teman yang kuliah Master. Tapi, sebenarnya di sinilah tantangannya. Setapak yang kami lalui memang sepi. Untuk tahun pertama, yang notabene masih ada kelas saja, tak jarang kami menghilang dan bersemedi di gua pertapaan kami masing-masing. Boro-boro party-party, bersosialisasi saja sepertinya sudah malas kalau lagi masa-masa deadline. Bagiku sendiri, yang lebih terbiasa kuliah pake metode ceramah dan semuanya serba disuap, tipe independent learning ini terasa mengerikan. Bukan apa, semuanya harus diurus dan ditentukan sendiri. Dari topik apa yang akan kita bahas, pisau apa yang akan kita pakai dalam menganalisis, yang tidak pernah dibahas di dalam kelas karena kita diharapkan sudah tahu; kalaupun belum, ya cari tahu sendiri. Dosen membebaskan kita untuk mengupas topik yang kita pilih itu dengan menggunakan pisau teori apapun. No right and wrong answer. Yang dinilai adalah justifiaksi mengapa menggunakan approach tersebut dan critical thinking kita dalam menyusun argumen. Untuk sampai ke sini, banyak baca adalah suatu keharusan. Selama hampir setahun ini, sulit bagiku untuk bertanya ke orang lain jika stuck dan bingung luar biasa dikarenakan teman-teman sekelas rerata sudah bekerja dan hanya datang ke kampus jika ada kuliah. Mereka juga jarang menggunakan WA dan membuka email pada saat-saat tertentu juga. bertanya pada dosen juga rasanya tak pantas mengingat seorang kandidat PhD sudah seharusnya bisa belajar secara mandiri. Huft,,, benar-benar perjalanan sunyi.

Tantangannya adalah, dari sekian banyak bacaan itu, menentukan yang mana yang cocok dan benar-benar related itu butuh waktu dan critical thingking yang mumpuni. Soalnya, ketika membaca jurnal yang kita rasa berhubungan, semuanya kayaknya pengen dimasukkan padahal kita punya keterbatasan word count. Nah, butuh kesabaran dan skill tertentu untuk bisa memilih-milih ini. Kalau sudah begini, suka pengen nangis dan merasa bodoh. Yang memperburuk adalah ingatan tentang orang-orang yang berharap banyak pada kita, mereka yang katanya merasa terinspirasi dan kagum pada kita. Padahal, andai mereka tahu, bahwa aku sebenarnya jaaauhh dari yang mereka sangkakan itu. Aku seringkali sangat malu. Sebenarnya, disaat-saat tertentu aku menggunakannya sebagai motivasi dan penyemangat, tetapi tak jarang malah berakhir menjadi beban karena merasa telah 'menipu' mereka. Untuk menebus rasa bersalah dan berusaha mewujudkan harapan mereka, aku menghabiskan lebih banyak waktu menginap di perpus dari pada di kamar sendiri (apalagi pada saat ngejar deadline). Dampaknya jelas, kantung mata dan anjloknya timbangan, hehehe...

Dampak lain dari akumulasi setress ini adalah seringnya ada tingkah aneh-aneh dari aku dan beberapa teman kandidat PhD yang lain. Diantaranya, suka dengan isengnya godain dan ngerjain temen-temen master. kadang kami juga dinilai bertingkah absurd, hehehe. "Waduh, ini ya efek samping dari kuliah PhD? jadi mikir mau lanjut lagi, liat aja kelakuan mereka" kata beberapa teman master, hehehe. Makanya istilah PhD (Permanent Head Damage) itu menajdi semakin valid, wkwkw. Menurut salah seorang senior yang sudah hampir menuntaskan kuliah doktoralnya, jadi mahasiswa PhD memang gak boleh terlalu serius, bisa gila. Belum lagi kalau sudah masuk tahapan disertasian. Bagus kalau pembimbingnya oke, kalau dapat yang agak demanding, waduh bisa tambah pusing. Beliau menyarankan agar ritme sebaiknya dijaga. Perjalanan meraih gelar ini itu serupa marathon, bukan sprint. Tidak boleh terlalu cepat tapi juga tidak boleh terlalu santai. Kalau terlalu cepat diawal, bisa kehilangan tenaga dan mati bosan di akhir; namun kalau juga terlalu santai, bisa keteteran pada saat terakhir. Bahaya.

"Benar-benar perjuangan seorang diri ya, Mas?" tanyaku padanya. "Sebenarnya gak sendiri Mbak kalau selalu melibatkan Allah" balasnya kalem. Deg! Aku terdiam. "Bagi resep dong, Mas biar bisa istiqomah menjaga ritme dan tetap waras" tanyaku lagi. "Kalau aku, prinsipku, selalu dahulukan urusan langit. Mau itu lagi fokus banget, jika sudah tiba waktu Sholat tinggalkan kerjaan itu. Di pagi hari, tak ada barang seharipun terlewat tanpa aku mulai dengan Duha. Insyaallah hati menjadi tenang dan fikiran bisa lebih jernih" jawabnya. "Jarak dari Dhuha dan Dzuhur itu lumayan lama, Mbak. Kalau fokus, sangat cukuplah untuk bisa produktif (baik itu membaca maupun menulis), nah dan sat Dzuhur tiba, kita harus mengistirahatkan otak kita agar tidak berasap sehingga selepas solat dan makan siang dan istirahat, kita bisa melanjutkan kerja lagi. Otak sehat, jiwa tenang" Katanya sambil tersenyum. "Oh ya, satu lagi, Mbak,, waktu tidurnya di jaga, jangan begadang. Harusnya waktu kita bekerja di waktu pagi itu cukup kok, sehingga waktu malamnya bisa murni dipergunakan untuk beristirahat. Kalau diforsir, malah jadinya gak produktif, karena badan yang lelah susah untuk fokus dan membuat belajar berlipat-lipat kali lebih berat."

Duuh, bener juga siiih kata si Mas ini. Kalau aku kebalikannya, siang dipake tidur, malam dipake belajar. Padahal Allah sudah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk beristirahat. Sunnatullah. Oh Ya Allah, betapa aku masih harus sangaaat berbenah. Diluar semua tuntutan akademik ini, aku merasa perjalanan sekolah dotoral ini adalah perjalanan mengenali, menaklukkan, dan memperbaiki diri sendiri di setiap menit dan detiknya. Perjalanan sunyi memang, karena yang kau hadapi adalah dirimu sendiri. Bismillah, insyaAllah aku siap memperbaiki diri. Mohon doanya juga, ya.. ^^ Semoga perjalanan kalian juga menyenangkan dan dimudahkan olehNya, aamiin.



يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.

Ya Hayyu Ya Qayyuum, birohmatika astaghiytsu, ashliy sya’niy kullahu, wa laa takilniy ilaa nafsiy thorqota ‘aini“

Artinya: “Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).”






1 comment:

Irly said...

Semangat sista.. Dirimu berangkat ke sana pasti ada hikmahnya, orang-orang menjadikanmu panutan juga pasti ada alasannya. Semangat belajarnya pasti didukung bantuan oleh Allah apalagi didukung semangat mendekat ke yang punya ilmu.

Kami back up doa terbaik, selalu :*