Satu pintu tertutup, seribu pintu terbuka. Kalimat luar biasa inilah yang menjadi pelampungku saat ini. Setelah kemarin terdepak dari seleksi berkas ADS, aku kini mengapung-ngapung dalam samudra mimpi-mimpi yang tertunda. Hampir saja tenggelam. Tetapi kalimat yang dilontarkan mace, pace, dan rekan2 yang kompak menyuarakan "Satu pintu tertutup, seribu pintu terbuka" itu menyelamatkanku. Meski masih belum tahu arah tujuan, setidaknya aku masih punya kesempatan untuk melihat peluang-peluang yang ada. Setidaknya aku masih dapat berfikir untuk kedepannya tanpa harus megap-megap tergulung ombak.
Begitulah, tidak semua apa yang kita ingini dapat kita dapatkan dengan mudahnya. Sebagian orang terlahir dengan anugrah tak terkira dari langit. Ibarat memiliki tuah dalam dirinya. Segala yang dikerjakannya dimudahkan olehNya. Mereka menjalankan hidupnya di jalan tol. Wussssss... mereka dapat melaju sekencang-kencangnya. Bebas hambatan. Sehingga kelihatannya mereka tak perlu usaha yang terlalu keras untuk menuju sukses. Setidaknya mereka tak perlu merangkak, tertaih mendulang sukses. Sebagian lagi terlahir dengan keadaan sebaliknya. Harus merangkak dulu, harus jatuh berkali-kali dulu baru bisa sukses. Tak jarang derai air mata menghiasi perjalanan hidupnya.
Aku tidak tahu berada dalam golongan yang mana. Mungkin saja diantara keduanya. Yah, karena terkadang keinginanku dijawab dengan sangat cepat, kadang harus menunggu lumayan lama. Entahlah ada digolongan mana aku ini. Jika mengingat surat dari ADS itu, mungkin saat ini aku termasuk dalam golongan kedua. Kali ini roda kehidupan tidak membawaku ke jalan tol itu. Apa mau dikata, itulah yang diinginiNya untuk saat ini. Aku tak paham maksud dan tujuanNya. Aku hanya harus percaya, percaya bahwa dia menyayangiku dan tahu segala yang terbaik untukku.
Tetapi rasa percaya itu tak mudah ditumbuhkan begitu saja. Bukakah kebanyakan manusia selalu saja merasa hidup ini kadang tak adil? Selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan tentang keadilanNya. Tentang kemahatahuanNya. Kebanyakan manusia, seperti juga aku, gagal berprasangka baik padaNya. Karena kita terlalu dangkal dalam menilai. Selalu menilai dari apa yang tampak diluar. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau, bukan?? Untunglah aku tak terlalu lama dalam kabut ini. Dalam sedikit kekecewaan ini, Dia masih memberiku teman-teman pengibar semangat yang handal. Ada Ibu Ida yang selalu memberi support, ada K Rahma, yang selalu menyemangati sembari menunjukkan ku pintu-pintu lain untuk diketuk. Ada saudara-saudaraku, yang candaanya mujarab mengusir gulana.
Apa salahnya mencoba lagi??? Entah pada percobaan keberapakalinyakah kau akan menjawabku, Langit? Aku tak perduli, hanya kan berusaha. Dan aku tahu, aku tak sendiri...
No comments:
Post a Comment