Assalamualaikum. Wr. Wb.
Kendari kaya benar euyyy,, punya matahari tidak tanggung-tanggung, langsung lima!!! ni enelan lho, ciyuss!! (kesambit hantu alay adikku, nih,,hehhehe). Hanya saja yang punya percaya diri full untuk menampakkan wujudnya hanya satu, empatnya malu-malu sembunyi di balik awan. Yup, Kendari panas sekali pokoknya. Kekuatan yang sanggup mendidihkan cairan dalam batok kepala sampai ujung jari kaki. Sudah begitu, angin sangat malas berseliweran menunaikan tugasnya membawa sejuk pada otak dan juga jiwa. Hmm, I am not being so lebay today, yet it's the fact. Kedari has no longer become my dream place to have a nap.
Suasana begini, membuatku kangen Solo lagi. Banyak hal yang membuatku kangen Solo sebenarnya. Apa sjakah itu???
1. Kesejukannya
Meski tidak bisa dibandingkan dengan Malang, setidaknya Solo masih memanjakan ku dengan kesejukannya. Ini bukan cuma pendapat saya seorang, beberapa teman dari Jakarta pun mempunyai pendapat yang serupa. Respon pertama yang mereka lontarkan saat pertama kali menginjak bumi Solo adalah "Grrr... Dinginnya gilaaaa, dahsyat banget!!!"
Berada di Kendari dengan peluh yang bahkan menganak sungai seperti ini, membuatku semakin mengimpikan bisa bersahabat dengan Doraemon, yang punya alat ajaib bernama pintu kemana saja, hanya untuk terbang ke Kamarku di Solo. Kamar di lantai tiga dengan nomor A.32. Kebayang angin segarnya yang selalu suskes menghipnosisku untuk melabuhkan sauh di pulau kapuk,,hehehhe. Bumi dan langit dengan nasibku yang teronggok malang di sini, krasak krusuk bolak balik kiri kanan, tetap saja panas. Bahkan aku jadi keranjingan jin mandi, nih, sehari bisa lima kali, saingan sama bapak yang juga senasib dan sepenanggunga.. >_<
2. Keekonomisannya.
Tidak ada yang bisa menyangkal betapa ekonomisnya hidup di Solo. Semuanya serba murah terutama untuk urusan culinarynya . Bahkan dari seluruh wilayah di daratan jawa yang pernah kukunjingi, Solo merupakan the number one economic place to live followed by Jogja, Ciyusss (kumat lagi,,hihihihi). Bayangkan saja, untuk makan Thunderloin Mushroom Steak plus Milo Shake or Soda Gembira, kita cuma perlu mengeluarkan uang sebesar Rp.22.000 (Rp. 16.000 untuk steaknya, dan Rp. 6.000 untuk soft drinknya). Di Kendari mana ada harga semiring itu. Rasanya pun lumayanlah, menurutku sih cuman beda tipis sama Pronto di Kendari, yang Sirloin Steaknya saja seharga Rp. 39.000 (kalo tidak salah ingat, ya..) belum minumannya yang pasti tidak ada yang dibawah harga Rp. 10.000. Di Solo, bawa uang Rp. 10.000 sudah bisa buat kenyang. Nasi+ ayam goreng kremes + Es teh cuman Rp. 8.000, Spaghetti plus es teh hanya seharga Rp. 8.500, mau yang lebih dahsyat lagi?? Ada lho nasi plus soto ayam yang cuman seharga Rp. 2.500. Sore kemarin, saya mengajak adikku untuk makan bakso di salah satu tempat favorit kami. Kami memesan bakso campur plus es jeruk dan meskipun telah faham akan harganya, tetap saja saya tetap kembali mengingat Solo, dimana untuk menu serupa saya tidak perlu mengeluarkan duit lebih dari Rp. 10.000.
Itu tentang urusan lehernya, menyangkut beberapa keperluan pribadi lain lagi. Harga Shampo, sabun, pasta gigi, dll beda jauh sama yang ditawarkan Indomaret di sana. Untuk urusan perbengkelan pun sama saja. Kemarin saya sempat apes, ban belakang motor saya bocor ketika hendak ke UMK untuk ngajar. Untungnya, hanya selemparan batu dari situ ada bengkel. Maka kesanalah saya. Saya bertanya berapa ongkos untuk ganti ban dalam dan saya cukup terkejut dengan nomina yang disebut bapak montir. Rupanya untuk ganti ban dalam di Kendari kita harus merogoh kocek sebesar Rp. 50.000, sedangkan di Solo hanya Rp. 20.000. WOW!!! Pokonya, hidup di Solo itu sangat murah. Dan demi melihat isi dompet dan saldo di ATM, sangat wajar saya begitu bernafsu merindukan Solo..hehehhe
3. Keramahan dan Kesederhanaannya
Sepakat dong pastinya ketika saya katakan bahwa masyarakat suku Jawa memang terkesan "lebih ramah" dari orang Sulawesi, meski saya pun berpendapat bahwa sebenarnya manusia dari suku manapun sama saja, ada yang galak ada pula yang baik hati dan tidak sombong. Tetapi, tak dapat disangkal, "penampakan" dan tutur kata Wong Jowo lebih halus dan menenteramkan hati. Senyum dan anggukan kepala menjadi gerak tubuh alamiah mereka. Tutur katanya pun enak di telinga. Selama tinggal di Jawa, saya hampir tidakpernah mendengar umpatan maupun sesumbar pongah yang sangat lazim saya dengar di kampung halaman tercinta :(.
Selain itu, kesederhanaan merupakan denyut nadi yang dapat dirasakan di Jawa, khususnya Solo. Tidak peduli setajir dan setinngi apa jabatan yang mereka miliki, mereka selalu tampil sederhana dan bersahaja. Batik melekat pada tubuh mereka seperti kulit kedua. Tidak seperti fenomena yang terjadi di tanah kelahiranku, dimana baik kaum muda dan manulanya seakan menjadi korban mode, di Solo mereka memlih untuk lebih membumi dalam balutan pakaian sederhana dan aksesoris sederhana pula. Sehingga, gap antara yang kaya dan miskin, jika dilihat dari penampilan, akan sangat kecil. Gaya hidup seperti itulah yang sepertinya sangat cocok dengan kepribadianku yang sebenarnya. Di Solo aku merasa menemkan tempatku. Ibarat ikan, aku berada dalam kolam yang tepat.
Aku sempat punya pengalaman yang menyedihkan sehubungan dengan masalah penampilan di Kendari ini. Seperti yang saya klaim sebelumnya, untuk urusan outfit saya tergolong cuek dan sangat apa adanya. Waktu itu saya keluar hanya untuk makan mie Hokkian di Nonya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kalau naik pete-pete (baca: angkot). Saya pun berpakaian seadanya dan keluar rumah dengan santainya (kaos oblong polos, jins dan sendal jepit). Di Solo, ketika saya keluar rumah dengan penampilan seperti itu, orang akan cuek saja dan menganggap lazim. Tetapi rupanya di Kendari, setelah kutinggal hampir setahun, punya aturan tidak tertulis yang menjadi tolak ukur dalam dunia pergaulan dan kasta seseorang. Rupa-rupanya penampakanku yang apa adanya itu tergolong dalam kasta sudra yang hanya layak dipandang sebelah mata. Harus memakai high heels, make up yag tebal, dan pakaian yang trendi (walau hanya untuk urusan cari makan) agar bisa naik tingkat ke kasta atas. Jadilah aku sebagai tontonan aneh di pete-pete, dimana para gadis-gadis modis berpenampilan layaknya artis ibu kota duduk manis. Sigh... (Oh, God, I miss Solo so bad!!!)
Sebenarnya masih ada beberapa hal lainnya yang aku rindukan dari Solo, tetapi HPku berdering, panggilan dari Aminah. Ada hajatan di rumahnya dalam rangka syukuran gelar Masternya. So,, I'll continue this later, C Ya... :)
Kendari kaya benar euyyy,, punya matahari tidak tanggung-tanggung, langsung lima!!! ni enelan lho, ciyuss!! (kesambit hantu alay adikku, nih,,hehhehe). Hanya saja yang punya percaya diri full untuk menampakkan wujudnya hanya satu, empatnya malu-malu sembunyi di balik awan. Yup, Kendari panas sekali pokoknya. Kekuatan yang sanggup mendidihkan cairan dalam batok kepala sampai ujung jari kaki. Sudah begitu, angin sangat malas berseliweran menunaikan tugasnya membawa sejuk pada otak dan juga jiwa. Hmm, I am not being so lebay today, yet it's the fact. Kedari has no longer become my dream place to have a nap.
Suasana begini, membuatku kangen Solo lagi. Banyak hal yang membuatku kangen Solo sebenarnya. Apa sjakah itu???
1. Kesejukannya
Meski tidak bisa dibandingkan dengan Malang, setidaknya Solo masih memanjakan ku dengan kesejukannya. Ini bukan cuma pendapat saya seorang, beberapa teman dari Jakarta pun mempunyai pendapat yang serupa. Respon pertama yang mereka lontarkan saat pertama kali menginjak bumi Solo adalah "Grrr... Dinginnya gilaaaa, dahsyat banget!!!"
Berada di Kendari dengan peluh yang bahkan menganak sungai seperti ini, membuatku semakin mengimpikan bisa bersahabat dengan Doraemon, yang punya alat ajaib bernama pintu kemana saja, hanya untuk terbang ke Kamarku di Solo. Kamar di lantai tiga dengan nomor A.32. Kebayang angin segarnya yang selalu suskes menghipnosisku untuk melabuhkan sauh di pulau kapuk,,hehehhe. Bumi dan langit dengan nasibku yang teronggok malang di sini, krasak krusuk bolak balik kiri kanan, tetap saja panas. Bahkan aku jadi keranjingan jin mandi, nih, sehari bisa lima kali, saingan sama bapak yang juga senasib dan sepenanggunga.. >_<
2. Keekonomisannya.
Tidak ada yang bisa menyangkal betapa ekonomisnya hidup di Solo. Semuanya serba murah terutama untuk urusan culinarynya . Bahkan dari seluruh wilayah di daratan jawa yang pernah kukunjingi, Solo merupakan the number one economic place to live followed by Jogja, Ciyusss (kumat lagi,,hihihihi). Bayangkan saja, untuk makan Thunderloin Mushroom Steak plus Milo Shake or Soda Gembira, kita cuma perlu mengeluarkan uang sebesar Rp.22.000 (Rp. 16.000 untuk steaknya, dan Rp. 6.000 untuk soft drinknya). Di Kendari mana ada harga semiring itu. Rasanya pun lumayanlah, menurutku sih cuman beda tipis sama Pronto di Kendari, yang Sirloin Steaknya saja seharga Rp. 39.000 (kalo tidak salah ingat, ya..) belum minumannya yang pasti tidak ada yang dibawah harga Rp. 10.000. Di Solo, bawa uang Rp. 10.000 sudah bisa buat kenyang. Nasi+ ayam goreng kremes + Es teh cuman Rp. 8.000, Spaghetti plus es teh hanya seharga Rp. 8.500, mau yang lebih dahsyat lagi?? Ada lho nasi plus soto ayam yang cuman seharga Rp. 2.500. Sore kemarin, saya mengajak adikku untuk makan bakso di salah satu tempat favorit kami. Kami memesan bakso campur plus es jeruk dan meskipun telah faham akan harganya, tetap saja saya tetap kembali mengingat Solo, dimana untuk menu serupa saya tidak perlu mengeluarkan duit lebih dari Rp. 10.000.
Itu tentang urusan lehernya, menyangkut beberapa keperluan pribadi lain lagi. Harga Shampo, sabun, pasta gigi, dll beda jauh sama yang ditawarkan Indomaret di sana. Untuk urusan perbengkelan pun sama saja. Kemarin saya sempat apes, ban belakang motor saya bocor ketika hendak ke UMK untuk ngajar. Untungnya, hanya selemparan batu dari situ ada bengkel. Maka kesanalah saya. Saya bertanya berapa ongkos untuk ganti ban dalam dan saya cukup terkejut dengan nomina yang disebut bapak montir. Rupanya untuk ganti ban dalam di Kendari kita harus merogoh kocek sebesar Rp. 50.000, sedangkan di Solo hanya Rp. 20.000. WOW!!! Pokonya, hidup di Solo itu sangat murah. Dan demi melihat isi dompet dan saldo di ATM, sangat wajar saya begitu bernafsu merindukan Solo..hehehhe
3. Keramahan dan Kesederhanaannya
Sepakat dong pastinya ketika saya katakan bahwa masyarakat suku Jawa memang terkesan "lebih ramah" dari orang Sulawesi, meski saya pun berpendapat bahwa sebenarnya manusia dari suku manapun sama saja, ada yang galak ada pula yang baik hati dan tidak sombong. Tetapi, tak dapat disangkal, "penampakan" dan tutur kata Wong Jowo lebih halus dan menenteramkan hati. Senyum dan anggukan kepala menjadi gerak tubuh alamiah mereka. Tutur katanya pun enak di telinga. Selama tinggal di Jawa, saya hampir tidakpernah mendengar umpatan maupun sesumbar pongah yang sangat lazim saya dengar di kampung halaman tercinta :(.
Selain itu, kesederhanaan merupakan denyut nadi yang dapat dirasakan di Jawa, khususnya Solo. Tidak peduli setajir dan setinngi apa jabatan yang mereka miliki, mereka selalu tampil sederhana dan bersahaja. Batik melekat pada tubuh mereka seperti kulit kedua. Tidak seperti fenomena yang terjadi di tanah kelahiranku, dimana baik kaum muda dan manulanya seakan menjadi korban mode, di Solo mereka memlih untuk lebih membumi dalam balutan pakaian sederhana dan aksesoris sederhana pula. Sehingga, gap antara yang kaya dan miskin, jika dilihat dari penampilan, akan sangat kecil. Gaya hidup seperti itulah yang sepertinya sangat cocok dengan kepribadianku yang sebenarnya. Di Solo aku merasa menemkan tempatku. Ibarat ikan, aku berada dalam kolam yang tepat.
Aku sempat punya pengalaman yang menyedihkan sehubungan dengan masalah penampilan di Kendari ini. Seperti yang saya klaim sebelumnya, untuk urusan outfit saya tergolong cuek dan sangat apa adanya. Waktu itu saya keluar hanya untuk makan mie Hokkian di Nonya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kalau naik pete-pete (baca: angkot). Saya pun berpakaian seadanya dan keluar rumah dengan santainya (kaos oblong polos, jins dan sendal jepit). Di Solo, ketika saya keluar rumah dengan penampilan seperti itu, orang akan cuek saja dan menganggap lazim. Tetapi rupanya di Kendari, setelah kutinggal hampir setahun, punya aturan tidak tertulis yang menjadi tolak ukur dalam dunia pergaulan dan kasta seseorang. Rupa-rupanya penampakanku yang apa adanya itu tergolong dalam kasta sudra yang hanya layak dipandang sebelah mata. Harus memakai high heels, make up yag tebal, dan pakaian yang trendi (walau hanya untuk urusan cari makan) agar bisa naik tingkat ke kasta atas. Jadilah aku sebagai tontonan aneh di pete-pete, dimana para gadis-gadis modis berpenampilan layaknya artis ibu kota duduk manis. Sigh... (Oh, God, I miss Solo so bad!!!)
Sebenarnya masih ada beberapa hal lainnya yang aku rindukan dari Solo, tetapi HPku berdering, panggilan dari Aminah. Ada hajatan di rumahnya dalam rangka syukuran gelar Masternya. So,, I'll continue this later, C Ya... :)
No comments:
Post a Comment