Assalamualaikum. Wr. Wb.
Sudah Desember ternyata, dan baru di hari ketiga saya sempat untuk posting sesuatu. Saya memang sedikit agaksok sibuk sekarang ini. Melakukan penelitian sekaligus juga menghandle 2 kelas in my home university, Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Jadilah saya tidak terlalu memikirkan hal lain selain dua hal itu. Saya sadari, kepekaan indra saya untuk memindai fenomena dan menyejarahkannya lewat tulisan sedang melemah. Padahal, ada bayak hal yang menarik untuk diulas, misalnya saja tentang kekalahan Indonesia di AFF yang sukses membuat orang rumahku diam dalam kesedihan.Tetapi hari ini, saya mengalami sesuatu yang telah menggugah saya untuk curhat disini. Sesuatu itu terus menerus memproduksi lapisan-lapisan perasaan tak nyaman, yang meski sudah saya coba jinakkan, tetap menohok-nohok ulu hati. Apakah gerangan itu?
Tepatnya lima menit sebelum jam 2 siang ini, ketika Ketua Prodi saya menegur stelan yang saya kenakan. hari ini dan juga hari-hari kemarin saya selalu mengenakan celana panjang ketika mengajar di kampus. Sebenarnya saya telah mengetahui aturan tentang tidak boleh memakai celana panjang ketika mengajar, harus mengenakan rok panjang. Katanya, hal ini sesuai dengan ajaran agama tentang larangan wanita mengenakan pakaian yang seharusnya untuk para pria, celana panjang salah satunya. Disamping itu, dikhawatirkan pemakaiancelana akan menonjolkan, maaf, bokong, wanita yang dapat mengundang fitnah. Tetapi, sejujurnya saya merasa sangat tidak nyaman dengan jenis pakaian yang satu itu. Mungkin karena belum terbiasa atau memang saya orangnya sangat jauh dari kesan feminim. Bagaimana akan nyaman, jika setiap kali memakai rok, tanpa sengaja saya menginjak bagian bawahnya ketika hendak naik pete-pete? Belum lagi kalau mau duduk, harus selalu siaga agar bagian bawah rok itu tidak menyentuh lantai. Oleh karena itu, demi menghormati aturan kampus, saya mengakalinya dengan tetap memakai celana, tetapi dengan baju yang lumayan panjang, bahkan ada yang sampai lutut.
Saya berharap bahwa dengan begitu, saya tidak terkesan memamerkan anggota tubuh saya dan dilain pihak, saya tidak perlu merasa tersiksa karena mengenakan rok. Saya berpositive thinking bahwa saya telah menawarkan win-win solution untuk permasalahan ini. Tetapi tidak begitu dalam pandangan para pemegang kebijakan kampus, khususnya di program studiku. Kata mereka itu adalah aturan akademik yang telah disahkan. Maka, mereka memberlakukan itu kepada semua warga prodi, baik mahasiswa terlebih lagi pengajarnya. Dan, ketika saya tidak melakukannya, teguran pun dilayangkan kepada saya.
Sebenarnya ada banyak sekali argument bernada protes yang ada dikepala saya. Banyak alasan shahih mengapa saya keberatan dengan aturan tersebut. Pertama, saya merasa tidak nyaman dengan rok. Kedua, kondisi di kampus sangat tidak gender responsive. Tingginya anak tangga menyulitkan saya jika memakai rok. Mereka menyarankan untuk mengangkatnya ketika mendaki anak tangga, ketika saya mengeluhkan hal ini. Nah lho?? Bukankah itu juga jatuhnya akan memperlihatkan kaki, yang hukumnya haram diperlihatkan? Oke, aku disuruh memakai legging atau kaus kaki panjang untuk menutupinya. Lalu bedanya dimana?? Pada akhirnya akan memperlihatkan bentuk kaki juga, kan? Menurut saya itu jauh lebih repot dan berbahaya. Seharusnya, ketika membuat aturan seperti itu, mereka meninjau lokasi terlebih dahulu. Bisa saja aturan ini dipaksakan, dengan syarat anak tangga dikampus dibuat pendek-pendek. Para wanita dilarang berbusana seperti pria tetapi, fasilitas yang diberikan seperti lupa bahwa kampus ini bukan hanya didiami para pria,yang secara fisik dapat mendaki anak tangga yang tinggi-tinggi itu tanpa kesulitan yang berarti. Heran. Ketiga, apakah tidak cukup dengan berpakaian yang pantas dan sopan saja? Toh, saya tidak memakai celana yang ketat melekat. Saya cukup tahu diri untuk menempatkan posisi saya sebagai tenaga pendidik untuk tidak berpakaian seronok.
Jika memang memakai celana panjang bagi wanita itu dosa, lantas haruskah para petani wanita memakai rok juga disawah? Bagaimana dengan wanita yang bekerja sebagai kuli bangunan? Haruskah mereka memakai rok panjang yang sangat tidak praktis itu untuk mengaduk semen dan menyaring pasir? Bagaimana jika mereka dalam posisi seperti itu? Akankah mereka dapat bertahan dengan outfit yang seperti itu? Saya rasa tidak. Bagaimanapun, saya mempercayai bahwa selama itu masih dalam batasan wajar dan sopan, memakai celana panjang tidaklah apa-apa. Kita toh bisa tetap mengakali dengan mengenakan atasan yang menutup bokong. Banyak hal, yang menurut saya, tidak perlu dipahami dan diterapkan secara saklek. Kondisi harus menjadi salah satu pertimbangannya. Seperti halnya pekerjaan yang sudah tidak lagi memandang gender layaknya sekarang ini, dimana para istri, demi mengepukan asap di tungku mereka, harus rela mengerjakan pekerjaan pria misalnya menjadi kuli bangunan, tukang becak, dan tukang pos. Jika mereka dipaksa memakai rok untuk pekerjaan seperti itu, saya rasa akan sangat merepotkan mereka.
Tetapi, saya harus menghargai aturan yang telah disepakati oleh para pemegang kebijakan prodi ini. Aturan itu telah dibuat jauh sebelum saya bergabung menjadi salah satu laskar pengajar dalam institusi ini. Meski banyak teman-teman dosen yang sebenarnya memprotes dibelakang, tetapi ini adalah aturan yang telah disepakati mereka, right? Saya tidak tahu siapa saja yang telah diajak berembuk sehingga lahirlah kebijakan itu, yang pasti, sejauh yang saya ketahui berdasarkan keluh kesah teman-teman yang lain, kebijakan ini tidak dihasilkan melalui diskusi dan rembukan oleh semua elemen yang ada di prodi.
Ah, mungkin saya saja yang lagi sensi sekarang ini. Bukankah katanya mereka sedang mencoba menerapkan syariat agama? Jikalau benar begitu maka aku akan berusaha menjalani. Siapa tahu kelak saya bakal terbiasa dan merasa nyaman dengan rok. Mungkin kelak, sayalah yang justru ngotot agar semua manusia bergender wanita tidak boleh mengenakan bawahan lain selain rok. Bisa saja, kan?? Wallahu a'lam.
Sudah Desember ternyata, dan baru di hari ketiga saya sempat untuk posting sesuatu. Saya memang sedikit agak
Tepatnya lima menit sebelum jam 2 siang ini, ketika Ketua Prodi saya menegur stelan yang saya kenakan. hari ini dan juga hari-hari kemarin saya selalu mengenakan celana panjang ketika mengajar di kampus. Sebenarnya saya telah mengetahui aturan tentang tidak boleh memakai celana panjang ketika mengajar, harus mengenakan rok panjang. Katanya, hal ini sesuai dengan ajaran agama tentang larangan wanita mengenakan pakaian yang seharusnya untuk para pria, celana panjang salah satunya. Disamping itu, dikhawatirkan pemakaiancelana akan menonjolkan, maaf, bokong, wanita yang dapat mengundang fitnah. Tetapi, sejujurnya saya merasa sangat tidak nyaman dengan jenis pakaian yang satu itu. Mungkin karena belum terbiasa atau memang saya orangnya sangat jauh dari kesan feminim. Bagaimana akan nyaman, jika setiap kali memakai rok, tanpa sengaja saya menginjak bagian bawahnya ketika hendak naik pete-pete? Belum lagi kalau mau duduk, harus selalu siaga agar bagian bawah rok itu tidak menyentuh lantai. Oleh karena itu, demi menghormati aturan kampus, saya mengakalinya dengan tetap memakai celana, tetapi dengan baju yang lumayan panjang, bahkan ada yang sampai lutut.
Saya berharap bahwa dengan begitu, saya tidak terkesan memamerkan anggota tubuh saya dan dilain pihak, saya tidak perlu merasa tersiksa karena mengenakan rok. Saya berpositive thinking bahwa saya telah menawarkan win-win solution untuk permasalahan ini. Tetapi tidak begitu dalam pandangan para pemegang kebijakan kampus, khususnya di program studiku. Kata mereka itu adalah aturan akademik yang telah disahkan. Maka, mereka memberlakukan itu kepada semua warga prodi, baik mahasiswa terlebih lagi pengajarnya. Dan, ketika saya tidak melakukannya, teguran pun dilayangkan kepada saya.
Sebenarnya ada banyak sekali argument bernada protes yang ada dikepala saya. Banyak alasan shahih mengapa saya keberatan dengan aturan tersebut. Pertama, saya merasa tidak nyaman dengan rok. Kedua, kondisi di kampus sangat tidak gender responsive. Tingginya anak tangga menyulitkan saya jika memakai rok. Mereka menyarankan untuk mengangkatnya ketika mendaki anak tangga, ketika saya mengeluhkan hal ini. Nah lho?? Bukankah itu juga jatuhnya akan memperlihatkan kaki, yang hukumnya haram diperlihatkan? Oke, aku disuruh memakai legging atau kaus kaki panjang untuk menutupinya. Lalu bedanya dimana?? Pada akhirnya akan memperlihatkan bentuk kaki juga, kan? Menurut saya itu jauh lebih repot dan berbahaya. Seharusnya, ketika membuat aturan seperti itu, mereka meninjau lokasi terlebih dahulu. Bisa saja aturan ini dipaksakan, dengan syarat anak tangga dikampus dibuat pendek-pendek. Para wanita dilarang berbusana seperti pria tetapi, fasilitas yang diberikan seperti lupa bahwa kampus ini bukan hanya didiami para pria,yang secara fisik dapat mendaki anak tangga yang tinggi-tinggi itu tanpa kesulitan yang berarti. Heran. Ketiga, apakah tidak cukup dengan berpakaian yang pantas dan sopan saja? Toh, saya tidak memakai celana yang ketat melekat. Saya cukup tahu diri untuk menempatkan posisi saya sebagai tenaga pendidik untuk tidak berpakaian seronok.
Jika memang memakai celana panjang bagi wanita itu dosa, lantas haruskah para petani wanita memakai rok juga disawah? Bagaimana dengan wanita yang bekerja sebagai kuli bangunan? Haruskah mereka memakai rok panjang yang sangat tidak praktis itu untuk mengaduk semen dan menyaring pasir? Bagaimana jika mereka dalam posisi seperti itu? Akankah mereka dapat bertahan dengan outfit yang seperti itu? Saya rasa tidak. Bagaimanapun, saya mempercayai bahwa selama itu masih dalam batasan wajar dan sopan, memakai celana panjang tidaklah apa-apa. Kita toh bisa tetap mengakali dengan mengenakan atasan yang menutup bokong. Banyak hal, yang menurut saya, tidak perlu dipahami dan diterapkan secara saklek. Kondisi harus menjadi salah satu pertimbangannya. Seperti halnya pekerjaan yang sudah tidak lagi memandang gender layaknya sekarang ini, dimana para istri, demi mengepukan asap di tungku mereka, harus rela mengerjakan pekerjaan pria misalnya menjadi kuli bangunan, tukang becak, dan tukang pos. Jika mereka dipaksa memakai rok untuk pekerjaan seperti itu, saya rasa akan sangat merepotkan mereka.
Tetapi, saya harus menghargai aturan yang telah disepakati oleh para pemegang kebijakan prodi ini. Aturan itu telah dibuat jauh sebelum saya bergabung menjadi salah satu laskar pengajar dalam institusi ini. Meski banyak teman-teman dosen yang sebenarnya memprotes dibelakang, tetapi ini adalah aturan yang telah disepakati mereka, right? Saya tidak tahu siapa saja yang telah diajak berembuk sehingga lahirlah kebijakan itu, yang pasti, sejauh yang saya ketahui berdasarkan keluh kesah teman-teman yang lain, kebijakan ini tidak dihasilkan melalui diskusi dan rembukan oleh semua elemen yang ada di prodi.
Ah, mungkin saya saja yang lagi sensi sekarang ini. Bukankah katanya mereka sedang mencoba menerapkan syariat agama? Jikalau benar begitu maka aku akan berusaha menjalani. Siapa tahu kelak saya bakal terbiasa dan merasa nyaman dengan rok. Mungkin kelak, sayalah yang justru ngotot agar semua manusia bergender wanita tidak boleh mengenakan bawahan lain selain rok. Bisa saja, kan?? Wallahu a'lam.
4 comments:
Ini hanya masalah waktu,mbak bro...
agama sudah mengatur semua, sangat tak bijak membuat analogi u/ pekerjaan lain, menurutku. tangga bukanlah alasan, dan kos kaki termasuk penutup aurat.
kau tahu, akupun tak pake rok... ketika ngajar gak pernah ditegur tuh.. hehe... *afwan bagi yg sensi.. ini adalah tulisan yg juga cukup menohok 'sensitifitas sy'.
heheheh...tapi kalo menurut pengalaman saya, kos kaki itu lebih ketat dibanding celana pipa, say. Itu menurut saya yah,,, trus, FYI memang, ada beberapa teman dosen yang kalo ngajar sengaja gag singgah ke Prodi karena ga pake rok, tapi celana. Makanya gag pernah ditegur. Tapi saya mengalaminya kemarin, say. Sebenarnya sih saya mengerti ada aturan seperti itu, tetapi, kok kayaknya cuman di bahasa Inggris saja yah, kok tidak berlaku di semua prodi???
Mengenai masalah analogi pekerjaan lain, dimana salahnya???
APakah saya salah karena telah curhat di blog saya sendiri???
Macam-macam saja aturan dibumi yg tdk sesuai dgn keinginan penghuninya, seakan-akan merekalah yg paling tahu semuanya dan sok pintar. Cape memikirkan hal2 yg tdk masuk di akal. Menarik sharingnya mba.Sukses selalu ya....
kelihatan jelas ini tulisan dari hati banget, penuh emosi keknya. keep calm my Nak...
jadi ingat ada jg tu hari temanku berkunjung kesitu niatnya mau bantu2 ngajar disitu hanya karena dia ndak memakai hijab saja dia jg sampe disemprot kodoong...
sungguh terlaluuuu
Post a Comment