Assalamualaikum. Wr. Wb.
Aku telat ngampus hari ini. Urung sitting in dikelas temanku, dikarenakan telepon berdurasi satu jam enam menit darimu, sist. Tidak seperti biasanya, mendengar suaramu kali ini menghantamku teramat sangat. Duhai engkau sang pembawa ceria, selalu memperkayaku dengan kabar suka cita maupun cerita konyolmu,
kini kudengar sesenggukan di ujung sana. Aku bertanya ada apa dan memintamu berhenti menangis. Kau pun bukannya mengindahkan pintaku, malah semakin menjadi dalam isakan pilu. Aku memberimu beberapa detik untuk menata perasaanmu. Dan kau pun mengurai kisahmu.
Hari bahagiamu, yang merupakan impian semua gadis lajang, tinggal hitungan hari. Persiapan telah matang, undangan telah tersebar. Tetapi tiba-tiba kau merasa galau. Kutenangkan dirimu dengan mengatakan mungkin itu hanya pre wedding syndrome, walau aku sendiri pun belum pernah merasakannya. Kau lirih berkata, "entahlah, sist, semoga". Lalu kau merunut konflik demi konflik yang mewarnai prosesmu menuju kehidupan yang baru. Semakin ke sini, kau pun menjadi semakin meragu. Pantaskah dia untukmu?
Selama ini kau telah berusaha meyakinkan diri dan orang tuamu, bahwa ini hanyalah ujian cinta kalian. Tetapi tak bisa kau halau gelisah itu. Melalui rintangan-rintangan yang kalian hadapi, kau sampai pada kesimpulan, bahwa ia tak mampu menenagkanmu. Dia tak bisa membuatmu yakin untuk maju bersama saling menggenggam jemari ketika badai datang. Katamu dia membiarkanmu sendiri. Tak jarang kau berontak demi menghadapi kecuekannya, tetapi itu tak menghasilkan apa-apa. Protes kerasmu tidak juga menggerakkan hatinya. Resahmu selalu ditanggapinya dengan tawa. Kau tak tau maknanya apa. Kau lelah dan marah. Lalu kau sampai pada titik ini, kebingungan untuk melanjutkan atau mengakhiri saja. Kau diamuk dilema. Dengan segala persiapan sampai sejauh ini, kau tak bisa seenak hati untuk melepas ikatan pertunangan. Banyak hati rapuh yang harus kau jaga dengan segenap jiwa. Merekalah orang tua dan saudara-saudaramu.
Akupun menceritakan kepadamu beberapa kisah tentang ujian yang umumnya mewarnai para pasangan yang ingin mengikat janji setia untuk bersama sehidup-semati. Kau mendengarnya dengan khidmat, berharap kisahmu juga adalah bagian dari kategori "ujian". Tetapi sisi lain hatimu mengajukan pertanyaan yang sangat sulit kujawab. Kau bertanya padaku dan pada dirimu sendiri, "Bagaimana kalau ini bukan ujian? Bagaimana kalau ini sebenarnya pertanda?" Sampai disini aku tak berkutik, sist. Aku tidak berani memberi justifikasi. Bagaimanapun aku hanya mengenal calon pendampingmu ini dari ceritamu. Bagaimana bisa aku menjawab keraguan sebesar itu?
Aku hanya bisa menyarankanmu untuk bertanya langsung pada Dia yang maha tahu. Pintalah padaNya pelita dalam pekatnya bimbangmu. Mohonlah padanya untuk membimbingmu mengambil keputusan terbaik bagi hidupmu. Akupun akan mendoakanmu dari sini, sist. Semoga yang terbaik diberikan untukmu, amiiinn... Sungguh, aku membenci keadaan dimana aku hanya bisa menenangkanmu lewat telepon. Aku menyesali ribuan mill yang memisahkan kita. Aku mengutuk situasi dimana aku tak bisa secara langsung memelukmu dan menghapus air matamu. Sedihmu menulariku, sist. Please be strong, ya... Semoga Allah memeluk hatimu, Amen.
Aku telat ngampus hari ini. Urung sitting in dikelas temanku, dikarenakan telepon berdurasi satu jam enam menit darimu, sist. Tidak seperti biasanya, mendengar suaramu kali ini menghantamku teramat sangat. Duhai engkau sang pembawa ceria, selalu memperkayaku dengan kabar suka cita maupun cerita konyolmu,
kini kudengar sesenggukan di ujung sana. Aku bertanya ada apa dan memintamu berhenti menangis. Kau pun bukannya mengindahkan pintaku, malah semakin menjadi dalam isakan pilu. Aku memberimu beberapa detik untuk menata perasaanmu. Dan kau pun mengurai kisahmu.
Hari bahagiamu, yang merupakan impian semua gadis lajang, tinggal hitungan hari. Persiapan telah matang, undangan telah tersebar. Tetapi tiba-tiba kau merasa galau. Kutenangkan dirimu dengan mengatakan mungkin itu hanya pre wedding syndrome, walau aku sendiri pun belum pernah merasakannya. Kau lirih berkata, "entahlah, sist, semoga". Lalu kau merunut konflik demi konflik yang mewarnai prosesmu menuju kehidupan yang baru. Semakin ke sini, kau pun menjadi semakin meragu. Pantaskah dia untukmu?
Selama ini kau telah berusaha meyakinkan diri dan orang tuamu, bahwa ini hanyalah ujian cinta kalian. Tetapi tak bisa kau halau gelisah itu. Melalui rintangan-rintangan yang kalian hadapi, kau sampai pada kesimpulan, bahwa ia tak mampu menenagkanmu. Dia tak bisa membuatmu yakin untuk maju bersama saling menggenggam jemari ketika badai datang. Katamu dia membiarkanmu sendiri. Tak jarang kau berontak demi menghadapi kecuekannya, tetapi itu tak menghasilkan apa-apa. Protes kerasmu tidak juga menggerakkan hatinya. Resahmu selalu ditanggapinya dengan tawa. Kau tak tau maknanya apa. Kau lelah dan marah. Lalu kau sampai pada titik ini, kebingungan untuk melanjutkan atau mengakhiri saja. Kau diamuk dilema. Dengan segala persiapan sampai sejauh ini, kau tak bisa seenak hati untuk melepas ikatan pertunangan. Banyak hati rapuh yang harus kau jaga dengan segenap jiwa. Merekalah orang tua dan saudara-saudaramu.
Akupun menceritakan kepadamu beberapa kisah tentang ujian yang umumnya mewarnai para pasangan yang ingin mengikat janji setia untuk bersama sehidup-semati. Kau mendengarnya dengan khidmat, berharap kisahmu juga adalah bagian dari kategori "ujian". Tetapi sisi lain hatimu mengajukan pertanyaan yang sangat sulit kujawab. Kau bertanya padaku dan pada dirimu sendiri, "Bagaimana kalau ini bukan ujian? Bagaimana kalau ini sebenarnya pertanda?" Sampai disini aku tak berkutik, sist. Aku tidak berani memberi justifikasi. Bagaimanapun aku hanya mengenal calon pendampingmu ini dari ceritamu. Bagaimana bisa aku menjawab keraguan sebesar itu?
Aku hanya bisa menyarankanmu untuk bertanya langsung pada Dia yang maha tahu. Pintalah padaNya pelita dalam pekatnya bimbangmu. Mohonlah padanya untuk membimbingmu mengambil keputusan terbaik bagi hidupmu. Akupun akan mendoakanmu dari sini, sist. Semoga yang terbaik diberikan untukmu, amiiinn... Sungguh, aku membenci keadaan dimana aku hanya bisa menenangkanmu lewat telepon. Aku menyesali ribuan mill yang memisahkan kita. Aku mengutuk situasi dimana aku tak bisa secara langsung memelukmu dan menghapus air matamu. Sedihmu menulariku, sist. Please be strong, ya... Semoga Allah memeluk hatimu, Amen.
No comments:
Post a Comment