Assalamualaikum Wr. Wb.
Kali ini sudah bisa tidak. Tidak
kuijinkan diriku menunda lagi postingan kali ini. Alasannya satu saja dan
sangat sederhana. Aku tak ingin moment ini terlewat sia-sia tanpa merekamnnya
dalam jejak tulisan. Karena akan ada waktu dimana aku akan mengenang perasaan
ini. Takjub, terkesan dan lebih kepada terharu sebenarnya. Yeaahh itulah
sekecamuk emosi yang kukenali setelah membaca buku ini. Buku tentang perjalanan
seorang anak manusia bernama Hanum Salsabiela Rais selama 3 tahun di Benua
Eropa.
Buku ini sangat special menurutku
dan tidak seperti buku traveling yang pernah kubaca, yang menyajikan
janji-janji manis akan keindahan dan landmark suatu Negara, buku ini lebih “out
of the box”. Alih-alih melulu menngilustrasikan segala keindahan negeri-negeri
eropa yang sudah terlalu sering kubaca dalam buku traveler, hal-hal tentang
Eifel, Norte Dame, Seine, cs. Buku ini lebih dari sekedar itu (seperti yang
Hanum beberapa kali ungkapkan dalam buku ini, ini lebih dari sekedar Eifel atau
Lovre). Buku ini tentang perjalanan mencari jati dirimu yang paling hakiki.
Menjelajah pada sesuatu yang pernah jaya dan benderang ribuan tahun yang lalu.
Buku ini tentang perburuan bukti kejayaan Islam yang bagi Hanum, dan juga bagi
saya, mungkin juga bagi kalian yang sudah atau akan membaca buku itu kelak
merupakan jalan untuk jatuh cinta atau makin jatuh cinta pada Islam.
Tak jarang aku berhenti sejenak
ketika membaca buku ini. Berhenti untuk menarik nafas, menghela sudut mata
dengan tissue kemudian melafalkan namaNya dengan hati yang bergetar. Kerinduan
Hanum mewakili kerinduanku sendiri. Sungguh benar kata Hanum, manusia itu
sungguh keciiiiilll dan seringkali lupa padaNya penyebab dari segala sebab.
PadaNya yang semua pertanyaan akan berakhir. PadaNya yang semua pengembaraan dan
pencarian akan kembali. SUngguh sebuah novel traveler yang begitu memberikan
kesan mendalam kepadaku. Membuatku sesenggukan beberapa kali.
Sebagian temanku menganggap aku
memiliki sensitifitas yang kurang terhadap emosi sedih. Kadang aku pun tak
mengingkari itu. Aku tak bisa memaksakan kelenjar air mataku terbentuk begitu
saja ketika membaca bacaan atau menonton film yang menurut mereka sangat
mengharubiru. Yeahh, tak jarang ketika teman-temanku menyodorkan sesuatu untuk
aku tonton atau aku baca dengan ekspektasi bahwa aku pasti akan tersentuh dan
mencucurkan air mata, tetapi itu tidak terjadi. Mungkinkah aku ini orang yangkurang
sensitive atau kurang peka?? Aku sendiri tak begitu memahami dan tak pernah
benar-benar ambil pusing. Biar sajalah mereka beranggapan begitu. Tetapi,
terkadang aku tak bisa mengontrol airmataku untuk tidak jatuh pada saat-saat
tertentu. Ku akui aku mungkin tidak terlalu baik dalam hal-hal yang bernuansa
sedih. Aku jarang menangis pada “kematian” tetapi seringkali airmataku tebentuk
dengan sempurna pada moment yang seharusnya bahagia, seperti di pernikahan
sahabatku, atau ketika aku menonton film-film yang berakhir bahagia setelah
berjuang tiada henti. Momen dimana aku menangis bukan pada saat sang tokoh
menderita tetapi lebih kepada saat-saat mereka berhasil menaklukkan segala
hambatan. Pada saat itu hatiku akan bergetar hebat, aku tergugah, aku
tersentuh.
Bagi sebagian diriku, kesedihan dan segala
kesulitan itu adalah hal yang tidak terlalu asing. Aku telah terbiasa hidup
dimana segala sesuatu bagi orang lain mudah untuk didapatkan, tetapi bagiku
tidak. Aku telah dididik dengan baik oleh bapak dan Ibuku untuk tidak selalu
mengeluhkan hal-hal seperti itu. Sebaliknya mereka mengajariku untuk selalu
bisa melihat sisi terbaik dalam setiap masalah untuk dipetik dan dinikmati.
Orang yang bisa bahagia bukan hanya mereka yang hidupnya selalu berkecukupan.
Kebahagian itu milik semua orang yang memilih untuk menikmati hidup dan
pandai-pandai mengambil kearifan yang niscaya ada pada setiap masalah, bukankah
begitu??? Mungkin itulah mengapa, aku tidak terlalu bereaksi pada emosi “sedih”
menurut beberapa temanku.
Tetapi buku ini sukses membuatku
beberapa kali sesunggukan. Novel ini bukan novel sedih. Tetapi cara Hanum bercerita,
bahasa yang dipilihnya, mampu membawaku menyelami apa itu kehilangan yang
sesungguhnya. Ketika aku membaca buku ini, aku disadarkan bahwa aku selama ini
telah banyak kehilangan. Kehilangan moment untuk mempelajari agamaku, menggali
pengetahuan hakiki tentang kepada siapa nanti aku akan kembali. Buku ini tidak
hanya bercerita tentang pencarian dan penemuan Hanum pada titik nolnya. Buku
ini juga sukses membuatku berfikir tentang titik nolku. Titik dimana semua yang
ada bermula dan berakhir…
I
highly recommended this book for you, mate. Trust me it’s definitely
inspiring….
No comments:
Post a Comment