Pernahkah kalian merasakan sensasi diterterbangkan/diangkat tinggi sekali lalu kemudian dihempaskan begitu saja kebumi dengan kecepatan tak terkira? Mungkin bagi yang pernah naik wahana Histeria di Dufan pernah merasakannya. Isi perut seakan jeblok dan jantung serasa mau copot, bahkan yang kudengar dari teman ada yang sempat ngompol saat mengalaminya. Aku sendiri sama sekali belum pernah bermain di wahana histeria tersebut tetapi sensasinya sedang aku rasakan saat ini. Bukan ragaku yang diterbangkan tinggi sekali lalu dihempas ke bumi begitu saja melainkan hatiku yang mengalaminya. Sungguh sensasi yang tak menyenangkan. Jantungku bukan hanya mau copot, tapi juga berdegup-degup tak karuan karena bercampur dengan kecewa, sedih, dan perasaan tak rela. Bagaimana bisa aku merasakannya? Begini ceritanya… Auuuuuu….
Masih ingat dengan postinganku yang lalu mengenai Program Pelatihan Bahasa Inggris? Pelatihan itu bertujuan untuk membekali para dosen tetap terpilih dengan penguasaan Bahasa Inggris sebelum pada akhirnya dikirim ke LN untuk melanjutkan studi. Aku dan beberapa rekan dosen di UMK telah mendaftar secara online tetapi dari 19 yang mendaftar hanya dua orang yang berhasil lolos. Banyak rekan dan termasuk juga aku merasa sedikit kecewa, karena kami tak tahu apa penyebab kami tidak lulus. Dalam aplikasi online itu tidak ada bagian yang mempertanyakan mengenai nilai, pangkat akademik, dan apapun yang dapat membedakan “derajat/nilai” kami dengan peserta yang lain. Semisal ada bagian yang mempertanyakan tentang pangkat akademik atau sebagainya, mungkin kami akan memahami, ”ooo mungkin si A lolos karena pangkat akademiknya lebih tinggi dari kami”, tetapi ini tidak ada sama sekali. Sebenarnya ada bagian yang mungkin dapat menggolong2kan “kasta” kami yaitu bagian kualifikasi pendidikan. Tetapi, banyak diantara kami yang bergelas master tetapi juga tidak lulus. Jadi apa dasar DIKTI menentukan Si Ini yang lolos dan Si Itu yang tidak?
Alhamdulillah, meskipun sedikit kecewa, kami tidak larut dalam perasaan yang tidak menyenangkan ini apalagi terjebak dalam perangkap iri. Kami secara tulus mengucapkan selamat pada kedua rekan kami tersebut. Mungkin belum rejeki, atau Tuhan sedang mempersiapkan yang jauh lebih bagus untuk kami. Kesibukan mempersiapkan penerimaan mahasiswa baru membuat kami melupakan hal itu dan semuanya kembali normal seperti sebelumnya.
Tetapi, sesuatu terjadi hari ini. Ketika aku berada di ruang Biro Keuangan, K Rahma, salah satu rekan dosen memberitahu aku bahwa jumlah peserta Pelatihan Bahasa di Makssar kurang 6 orang, dan dia bertanya apakah aku berminat ikut. Apa katanya? Berminat? Waduh, kak..tentu saja sangat aku sangat berminat. Dengan senang hati aku berkata padanya bahwa aku sangat sangat mau. Disebelahnya, P Ary menjelaskan segala sesuatunya. Katanya dia dapat info dari P Suharta (rekan yang lulus) bahwa panitia meminta satu peserta lagi dari UMK yang telah melakukan pendaftaran tetapi tidak lulus untuk segera ke Makassar guna mencukupi kuota. P Suharta mengajukan P Ary, tetapi karena sesuatu dan lain hal P Ary tidak bisa pergi. Maka dia pun bertanya pada K Rahma siapa kira-kira yang bisa berangkat. Nah, K Rahma kemudian teringat padaku. Aku sempat ragu juga, apakah sudah ada jaminan bahwa aku akan diterima disana, atau jangan sampai ada syarat-syarat yang harus aku penuhi dulu sebelum berangkat. P Ary pun menjelaskan bahwa aku hanya perlu Surat Tugas yang ditandatangani Rektor atau Dekan. Ah, itu mah masalah mudah, P Dekan masih ada diruangannya, dan beliau dengan senang hati pasti akan meberikan Surat Tugas tersebut. Aku kemudian meminta nomor ponsel P Suharta untuk informasi lebih lanjut. P Ary memberitahu bahwa P Suharta hanya bisa dihubungi pada malam hari, karena selama pelatihan, HP harus disilentkan.
Dengan hati yang hanya dipenuhi perasaan girang tak terkira, aku kembali keruangan. Penuh semangat aku memberi tahu Si Bos tentang berita tersebut, dan betapa inginnya aku mengikuti Pelatihan itu. Tetapi, ada yang ganjil dengan raut muka Si Bos, dan ini mebuatku sedikit waspada. Jangan-jangan…. Lalu, dengan pelan dan hati-hati Si Bos berkata bahwa bukannya dia mau menghalangi aku untuk pergi, tetapi sekarang ini masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait penerimaan mahasiswa baru dimana aku menjadi wakil sekertaris. Huuhuuuuhuuuu…. Begitulah, hatiku seperti baru saja diterbangkan setinggi langit namun kemudian dihempaskan begitu saja kebumi tanpa ampun. Aku tertunduk, berusaha keras menyamarkan perasaan kecewa yang langsung menyiram hatiku. Beberapa argumen protes berkelebat dibenakku. Tentang bukankah dulu Si Bos sendiri yang mendukung kami untuk ikut? Bukankah ini demi pengembangan dosen UMK juga? Bukankah Si Bos bisa saja mencari orang lain untuk menggantikan posisiku? Dan masih banyak bukankah-bukankah lain yang berlomba menghasut pikiranku. Tetapi aku tak berani mengungkapkannya pada Si Bos. Oh, lagi-lagi aku melihat pintu peluang untuk melanjutkan studi ditutup didepan mataku. Sedih dan tak rela menusuk-nusuk hatiku. Tetapi diatas segalanya, aku juga sangat memahami penjelasan Si Bos. Disini ada tanggung jawab yang harus aku laksanakan. Aku harus bersikap professional, bukan? Pelan-pelan aku membujuk hatiku untuk berdamai dan iklas, semoga ada yang lebih baik menunggu di depan sana.
Dan, oh berdamai dengan keadaan dan mencoba iklas itu sama sekali bukan perkara mudah, kawan. Sungguh. Apalagi ketika Si Bos memintaku agar bersabar dan memberitahu teman-teman lain siapa tahu ada yang bersedia ikut. Duhhh,,!!! ini bagian terberatnya. Mengapa harus aku yang memberi tahu mereka, Bos? Kenapa bukan Bos saja?..hiks..hiks..hiks…T_T… Tetapi bukan “gw bgt” kalau aku tidak memberitahu teman-teman yang lain mengenai hal ini. Aku bukan manusia picik yang suka menyembunyikan atau menghalangi orang mendapat informasi atas sesuatu yang baik. Aku tidak ingin menjadi orang yang berkepribadian kerdil. Maka dengan memantapkan hati aku pun mengabarkan ke teman-teman tentang informasi ini. Yang pertama kuberitahu adalah K Tika lalu K Titin, saying keduanya tidak bisa pergi karena sesuatu dan lain hal. Y sudahlah, yang penting aku telah menghindarkan diriku dari perbuatan kerdil tersebut. Lega rasanya…
Setibanya dirumah, aku curhat ke mace tentang sensasi “Terbang Terhempas” yang aku alami hari ini. Dan lagi-lagi aku wajib bersyukur karena telah diberi ibu seperti beliau. Dengan bijaknya beliau menghibur hatiku dan membuat aku kembali berprasangka baik pada skenario yang dibuat olehNya. Membuatku kembali meyakini bahwa Dia hanya akan memberi yang terbaik untukku pada waktu yang tepat. Aku mengirup udara banyak-banyak. Hatiku pun kembali sejuk dan damai. “O terimaksih, ma… You’re d Best dah…” bisikku sembari menatap lembayung dari balik jendela....