Sabtu, hari pertama Bulan Februari 2020, di ASSL, UoB,
Jam di sudut atas kanan laptopku menunjukkan angka 15:48. Sedari tadi aku sebenarnya sudah stay dipojok favoritku di perpustakaan ini. Bolak-balik mengecek semua hal kecuali disertasiku. AKu tahu aku seharusnya tidak melakukan itu. Tapi, apa daya, atas nama mengumpulkan mood, kubiarkan, eh bukan kusengaja memeluk semua distraksi itu. Mungkin untuk mengumpulkan rasa bersalah ketika hari sudah mulai berakhir, sehingga di rentang waktu yang selanjutnya, magrib sampai subuh, otakku mulai panik dan akhirnya mendesak anggota tubuh ini untuk menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan hari ini.
Ah, lalu akupun mampir ke sini. Ruang curhat yang telah lama kubiarkan berdebu. Rencanya mau mengeluarkan keresahan yang beberapa hari ini tersimpan di benak. Sudah masuk Februari, artinya tinggal tujuh bulan lagi waktuku menuntaskan ini. DUh, sungguh cepatnya waktu berlalu. Serasa baru kemarin aku menginjakkan kaki di negara ini. Tahun pertama yang penuh suka cita dan petualangan seru. Lalu, pertengahan tahun kedua yang mulai membuatku bertanya-tanya tentang apa sih yang aku cari dengan berada di sini. Tahun kedua ini memberiku warna tergelap dalam hidup. Bimbang, putus asa, buntu, sesak, sedih, marah, frustasi. Kelam. Tapi, tetap saja dalam prosesnya aku banyak belajar. Tentang arti hidup, tentang kelemahan manusia, tentang kesetiaan dan kepercayaan, tentang memilih untuk tetap percaya bahkan ketika semua yang tersaji di depan mata mengatakan sebaliknya. Memang ya, kadang justru dalam kegelapan, kita bisa melihat kebenaran yang selama ini tertutup tabir kerlap-kerlip, gaduh dan hiruk pikuk duniawi. Dalam gelap itu, aku justru bisa melihat siapa yang benar-benar peduli, siapa yang benar-benar mendengar dan memeluk, siapa yang tidak akan pernah pergi. Dan betapa, bahwa ketika aku merasa benar-benar tersesat, Dia yang maha penyayang selalu punya cara untuk menuntunku kembali ekpada cahaya.
Sekarang, sudah pertengahan tahun ke empat. Waktuku sudah tidak banyak. Aku seharusnya tidak bisa hanya sekedar berlalri untuk mencapai garis finish, tapi seharusnya malah terbang. Aku mencoba dan mencoba, walau harus kuakui, usahaku tidak sekeras yang aku inginkan. Entahlah. Seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menahanku bergerak. Kepalaku berkabut. Tebal. Entah bagaimana aku harus menerobosnya dan melepaskan sayap-sayapku dari belenggu kemalasan akut ini.
Sudah 16.05. Mereka yang di sekitarku beberapa sudah mengepak tasnya. Mereka siap-siap untuk party sepertinya. Iya, ini hari Sabtu. Biasanya perpustakaan sepi hari Sabtu. Orang sini selalu bisa disiplin untuk bekerja pol-polan pada weekdays dan party segila-gilanya pas weekend. Hmm, dan benar saja, si Nona Pirang sudah menggeret kursinya ke belakang dan akhirnya pulang. Aku? aku masih harus bertahan, menyibak kabut-kabut ilmu yang masih tidak sudi menampakkan diri. Hmmm.. bersabarlah, Ririn. Bersabarlah, sebentar lagi.
Jam di sudut atas kanan laptopku menunjukkan angka 15:48. Sedari tadi aku sebenarnya sudah stay dipojok favoritku di perpustakaan ini. Bolak-balik mengecek semua hal kecuali disertasiku. AKu tahu aku seharusnya tidak melakukan itu. Tapi, apa daya, atas nama mengumpulkan mood, kubiarkan, eh bukan kusengaja memeluk semua distraksi itu. Mungkin untuk mengumpulkan rasa bersalah ketika hari sudah mulai berakhir, sehingga di rentang waktu yang selanjutnya, magrib sampai subuh, otakku mulai panik dan akhirnya mendesak anggota tubuh ini untuk menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan hari ini.
Ah, lalu akupun mampir ke sini. Ruang curhat yang telah lama kubiarkan berdebu. Rencanya mau mengeluarkan keresahan yang beberapa hari ini tersimpan di benak. Sudah masuk Februari, artinya tinggal tujuh bulan lagi waktuku menuntaskan ini. DUh, sungguh cepatnya waktu berlalu. Serasa baru kemarin aku menginjakkan kaki di negara ini. Tahun pertama yang penuh suka cita dan petualangan seru. Lalu, pertengahan tahun kedua yang mulai membuatku bertanya-tanya tentang apa sih yang aku cari dengan berada di sini. Tahun kedua ini memberiku warna tergelap dalam hidup. Bimbang, putus asa, buntu, sesak, sedih, marah, frustasi. Kelam. Tapi, tetap saja dalam prosesnya aku banyak belajar. Tentang arti hidup, tentang kelemahan manusia, tentang kesetiaan dan kepercayaan, tentang memilih untuk tetap percaya bahkan ketika semua yang tersaji di depan mata mengatakan sebaliknya. Memang ya, kadang justru dalam kegelapan, kita bisa melihat kebenaran yang selama ini tertutup tabir kerlap-kerlip, gaduh dan hiruk pikuk duniawi. Dalam gelap itu, aku justru bisa melihat siapa yang benar-benar peduli, siapa yang benar-benar mendengar dan memeluk, siapa yang tidak akan pernah pergi. Dan betapa, bahwa ketika aku merasa benar-benar tersesat, Dia yang maha penyayang selalu punya cara untuk menuntunku kembali ekpada cahaya.
Sekarang, sudah pertengahan tahun ke empat. Waktuku sudah tidak banyak. Aku seharusnya tidak bisa hanya sekedar berlalri untuk mencapai garis finish, tapi seharusnya malah terbang. Aku mencoba dan mencoba, walau harus kuakui, usahaku tidak sekeras yang aku inginkan. Entahlah. Seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menahanku bergerak. Kepalaku berkabut. Tebal. Entah bagaimana aku harus menerobosnya dan melepaskan sayap-sayapku dari belenggu kemalasan akut ini.
Sudah 16.05. Mereka yang di sekitarku beberapa sudah mengepak tasnya. Mereka siap-siap untuk party sepertinya. Iya, ini hari Sabtu. Biasanya perpustakaan sepi hari Sabtu. Orang sini selalu bisa disiplin untuk bekerja pol-polan pada weekdays dan party segila-gilanya pas weekend. Hmm, dan benar saja, si Nona Pirang sudah menggeret kursinya ke belakang dan akhirnya pulang. Aku? aku masih harus bertahan, menyibak kabut-kabut ilmu yang masih tidak sudi menampakkan diri. Hmmm.. bersabarlah, Ririn. Bersabarlah, sebentar lagi.