Assalamualaikum. Wr. Wb.
Walau aku selalu percaya bahwa hari ibu itu adanya tiap hari, seperti juga valentine, yang sepertinya sangat tidak masuk akal untuk hanya disandangkan pada satu angka di kalender, ijinkan aku membingkai inspirasi yang luar biasa darimu, Ma..
Aroma minyak Sumbawa masih pekat melekat ditanganku. Bahkan, sentuhan jemariku menyisakan jejak minyak pada keyboard ini. Tak apa. Aku sudah terlalu ingin menuliskan ini sejak tadi, Ma.
Sejak punggungmu ku pijat dengan minyak sumbawa itu. Betapa kau telah semakin ringkih saja dari hari ke hari. Kau menjadi semakin lekas lelah belakangan ini, Ma. padahal dulu, masih ku ingat kau menuliskan raport murid-muridmu yang jauh lebih banyak dari hari ini, tetapi setelahnya masih gesit mengurus ini itu untuk kami. Sekarang, dengan ketinggian buku raport itu yang malah hampir setengah dari yang dulu, urat-uratmu sudah berteriak protes. Tegang disana-sini. Lalu, kau meminta aku memijatmu.
Ma, tadi itu aku sempat ingin memeluk punggungmu. Menciumi pundak yang telah memikul beban yang luar biasa berat. Aku berharap, kecupanku akan menguapkan sakitmu, mengurai urat-urat yang bersitegang pada bahumu. Tetapi, sudah menjadi karakter kita berdua untuk tdak terlalu mengumbar kasih sayang dalam peluk dan cium juga air mata. Kau, wanita perkasaku, telah mengajarkan anak-anakmu cara yang lebih dahsyat untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang. Itu ada dalam setiap bingkisan doamu yang insyaAllah diijabah, ada dalam setiap keringat yang kau teteskan untuk kami. Ada dalam kebijksanaan sepatah dua kata pelipur lara setiap kali kami mengeluhkan ini itu.
Ma, kau tadi bertanya, mengapa pijatanku seperti kurang tenaga. Kenyataanya, Ma, aku tadi mengusap takzim dirimu. Berterimakasih pada ALlah bahwa aku telah lahir kedunia melalui Engkau. Aku tadi seakan ingin meraba guratan sejarah yang telah kau pahat dalam dirimu. Terlalu mudah mengeja aksara perjuanganmu, Ma. Kisahmu itu harta karun yang tak ternilai. Bekal hidup yang tak pernah gagal menginspirasi, dan melambungkan motivasi. Kau lalu memintaku untuk memijat lebih kuat. Ku tanya sesekali, "sudah enakan kah?".Kau menjawabnya dengan "ya, disitu, Rin... disitu lagi, Nak" Maka akupun dengan segenap hati berusaha mengurangi sakitmu.
Di TV ada "Mata Najwa" menayangkan kisah cinta Pak B.J Habibie dan Ibu Ainu. Tokoh-tokoh kesayangan kita, Ma. Aku menghormati Pak Habibie dan mengagumi Ibu Ainun dengan kadar maksimal. Begitu pun Engkau. Kita sama-sama mengusap air mata ketika Pak Habibie dengan begitu ekpresifnya memuji Ibu Ainun. AKu, dan juga Engkau selalu larut dalam haru setiap kali kisah cinta mereka diekspos. Lalu kita akan memuji-muji Ibu Ainun dengan sepenuh-penuhnya penghargaan. Tetapi, dengan aroma minyak Sumbawa dari punggungmu tadi itu, Ma, sepertinya hatiku telah menentukan bahwa ada sosok wanita yang jauh lebih bersinar dari Beliau. Berlian yang telah terasah sempurna oleh pahit dan getirnya perjuangan. Berlian yang telah memancarkan sinarnya dimanapun dia berada. Itulah Engkau, Ma.. Srikandi sejatiku.
Aku tidak pernah bosan mendengar kembali rekaman perjuanganmu, Ma. Terimakasih telah menjadi begitu kuat. Terimaksih untuk tidak memilih menyerah pada saat teman-teman seangkatanmu yang semuanya pria memilih untuk angkat bendera putih. Engkaulah, Ma, wahai wanita tangguh, yang telah dengan berani menolak untuk megeluhkan apapun. Seterjal apapun itu, sekeras apapun itu, kau, dengan mental bajamu terus menerobos maju. Dengan keimanan tanpa cela pada janji Allah yang selalu bersama mereka yang sabar, kau telah menandai jejakmu dengan tinta emas. Kau telah membuktikan, bahwa hanya dengan kerja keras pantang menyerah, trophi kemenangan itu bisa kau raih.
Kini, buah usaha luar biasamu telah kami nikmati. Lihatlah, kau telah berhasi menjadi sebaik-baik manusia, yang selalu membawa manfaat bagi orang lain. Maka ketika pijatanku beralih ke lenganmu, bagaimana mungkin aku tidak sesak, Ma? Membayangkan betapa berharganya perjuangan yang telah tangan kecil ini tanam dan sekarang anak-anaknya bebas menikmati kapan saja. Bagaimana aku tidak dikuasai har, Ma? Mengusap tangan yang dahulu pernah menimang-nimang diriku dengan penuh sayang, kini mulai mengeriput? Ah, Ma, sepanjang hidup menulis pun tak akan pernah cukup untuk mengungkap semua pengorbanan dan kasih sayangmu pada kami.
Maka, aku meminta padamu, wahai Rabku, berkahilah srikandiku ini, jaga dengan perlindungan terbaikMu, sayangi dan kasihilah dengan cintaMu yang tak bertepi, angkat gulananya, ampuni segala khilafnya, dan beri aku kesempatan untuk membahagiakannya, Amiiiiinnnn...
Walau aku selalu percaya bahwa hari ibu itu adanya tiap hari, seperti juga valentine, yang sepertinya sangat tidak masuk akal untuk hanya disandangkan pada satu angka di kalender, ijinkan aku membingkai inspirasi yang luar biasa darimu, Ma..
Aroma minyak Sumbawa masih pekat melekat ditanganku. Bahkan, sentuhan jemariku menyisakan jejak minyak pada keyboard ini. Tak apa. Aku sudah terlalu ingin menuliskan ini sejak tadi, Ma.
Sejak punggungmu ku pijat dengan minyak sumbawa itu. Betapa kau telah semakin ringkih saja dari hari ke hari. Kau menjadi semakin lekas lelah belakangan ini, Ma. padahal dulu, masih ku ingat kau menuliskan raport murid-muridmu yang jauh lebih banyak dari hari ini, tetapi setelahnya masih gesit mengurus ini itu untuk kami. Sekarang, dengan ketinggian buku raport itu yang malah hampir setengah dari yang dulu, urat-uratmu sudah berteriak protes. Tegang disana-sini. Lalu, kau meminta aku memijatmu.
Ma, tadi itu aku sempat ingin memeluk punggungmu. Menciumi pundak yang telah memikul beban yang luar biasa berat. Aku berharap, kecupanku akan menguapkan sakitmu, mengurai urat-urat yang bersitegang pada bahumu. Tetapi, sudah menjadi karakter kita berdua untuk tdak terlalu mengumbar kasih sayang dalam peluk dan cium juga air mata. Kau, wanita perkasaku, telah mengajarkan anak-anakmu cara yang lebih dahsyat untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang. Itu ada dalam setiap bingkisan doamu yang insyaAllah diijabah, ada dalam setiap keringat yang kau teteskan untuk kami. Ada dalam kebijksanaan sepatah dua kata pelipur lara setiap kali kami mengeluhkan ini itu.
Ma, kau tadi bertanya, mengapa pijatanku seperti kurang tenaga. Kenyataanya, Ma, aku tadi mengusap takzim dirimu. Berterimakasih pada ALlah bahwa aku telah lahir kedunia melalui Engkau. Aku tadi seakan ingin meraba guratan sejarah yang telah kau pahat dalam dirimu. Terlalu mudah mengeja aksara perjuanganmu, Ma. Kisahmu itu harta karun yang tak ternilai. Bekal hidup yang tak pernah gagal menginspirasi, dan melambungkan motivasi. Kau lalu memintaku untuk memijat lebih kuat. Ku tanya sesekali, "sudah enakan kah?".Kau menjawabnya dengan "ya, disitu, Rin... disitu lagi, Nak" Maka akupun dengan segenap hati berusaha mengurangi sakitmu.
Di TV ada "Mata Najwa" menayangkan kisah cinta Pak B.J Habibie dan Ibu Ainu. Tokoh-tokoh kesayangan kita, Ma. Aku menghormati Pak Habibie dan mengagumi Ibu Ainun dengan kadar maksimal. Begitu pun Engkau. Kita sama-sama mengusap air mata ketika Pak Habibie dengan begitu ekpresifnya memuji Ibu Ainun. AKu, dan juga Engkau selalu larut dalam haru setiap kali kisah cinta mereka diekspos. Lalu kita akan memuji-muji Ibu Ainun dengan sepenuh-penuhnya penghargaan. Tetapi, dengan aroma minyak Sumbawa dari punggungmu tadi itu, Ma, sepertinya hatiku telah menentukan bahwa ada sosok wanita yang jauh lebih bersinar dari Beliau. Berlian yang telah terasah sempurna oleh pahit dan getirnya perjuangan. Berlian yang telah memancarkan sinarnya dimanapun dia berada. Itulah Engkau, Ma.. Srikandi sejatiku.
Aku tidak pernah bosan mendengar kembali rekaman perjuanganmu, Ma. Terimakasih telah menjadi begitu kuat. Terimaksih untuk tidak memilih menyerah pada saat teman-teman seangkatanmu yang semuanya pria memilih untuk angkat bendera putih. Engkaulah, Ma, wahai wanita tangguh, yang telah dengan berani menolak untuk megeluhkan apapun. Seterjal apapun itu, sekeras apapun itu, kau, dengan mental bajamu terus menerobos maju. Dengan keimanan tanpa cela pada janji Allah yang selalu bersama mereka yang sabar, kau telah menandai jejakmu dengan tinta emas. Kau telah membuktikan, bahwa hanya dengan kerja keras pantang menyerah, trophi kemenangan itu bisa kau raih.
Kini, buah usaha luar biasamu telah kami nikmati. Lihatlah, kau telah berhasi menjadi sebaik-baik manusia, yang selalu membawa manfaat bagi orang lain. Maka ketika pijatanku beralih ke lenganmu, bagaimana mungkin aku tidak sesak, Ma? Membayangkan betapa berharganya perjuangan yang telah tangan kecil ini tanam dan sekarang anak-anaknya bebas menikmati kapan saja. Bagaimana aku tidak dikuasai har, Ma? Mengusap tangan yang dahulu pernah menimang-nimang diriku dengan penuh sayang, kini mulai mengeriput? Ah, Ma, sepanjang hidup menulis pun tak akan pernah cukup untuk mengungkap semua pengorbanan dan kasih sayangmu pada kami.
Maka, aku meminta padamu, wahai Rabku, berkahilah srikandiku ini, jaga dengan perlindungan terbaikMu, sayangi dan kasihilah dengan cintaMu yang tak bertepi, angkat gulananya, ampuni segala khilafnya, dan beri aku kesempatan untuk membahagiakannya, Amiiiiinnnn...
No comments:
Post a Comment