Assalamualaikum. Wr. Wb.
Postingan ini adalah lanjutan dari Postingan yang lalu, Disitu, saya sempat membuka perasaan saya yang merindukan Solo. Kalau yang lalu, kadarnya mungkin hanya 50% sekarang derajat kekangenan saya bahkan naik sampai 99%. Sedikit banyaknya bisul rindu ini dipicu oleh updatean teman-teman di Facebook, dan situasi di Kendari sendiri, dimana banyak hal-hal yang dengan mudah saya dapatkan di Solo, menjadi sesuatu yang langka disini. Mari kita ulas satu demi satu.
4. Pelayanan Kesehatan Gratis Bagi Mahasiswa UMS di Muhammadiyah Medical Center (MMC)
Menurut saya, apresiasi yang tinggi selayaknya dilayangkan untuk UMS karena sangat memperhatikan segala kebutuhan mahasiswanya, misalnya pelayanan kesehatan gratis. Ya, di UMS terdapat klinik dan apotik yang buka 24 jam, MMC, yang khusus dioperasikan bagi semua mahasiswa UMS tanpa perlu mengeluarkan satu rupiah pun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Mahasiswa cukup berpakaian layak (bersepatu) dan membawa kartu mahasiswa untuk mendapat pengobatan. Klinik itu, meski tidak terlalu besar, memiliki fasilitas yang lumayan lengkap. Ada beberapa dokter yang bergantian berjaga di klinik tersebut. Setiap shiftnya, sekurang-kurangnya 2 dokter selalu siaga di dua poli yang tersedia (poli umum dan poli gigi). Staff kesehatan dan apoteker juga selalu siap melayani dengan hati.
Sakit yang menderaku beberapa hari ini pulalah yang membuat rinduku pada Solo kian terasa menikam. Meski saya bersyukur bahwa saya berada dirumah, ditengah hangat peluk keluarga, tetapi ketika disuruh ke dokter, saya merasa enggan. Keengganan saya bukannya tanpa alasan. Sudah menjadi potret buram Kendari bahwa pelayanan kesehatan disini sangat jauh dari baik. Muka jutek para medical staffnya adalah salah satu derita tambahan yang harus dipikul pasien, apalagi mereka yang taraf ekonominya dibawah rata-rata. Bahkan, adikku yag waktu itu harus operasi di RSUD harus melewati birokrasi yang sangat bertele-tele dan harus menahan gondok mendapat pelayanan sebelah mata dari para petugas kesehatan disana. Saya sendiri menjadi saksi bahwa harga mentega dipasaran jauh lebih penting untuk mereka diskusikan dibanding mengurusi kamar adik saya. Nanti, ketika mereka melihat golongan eselon ibu saya, baru perlakuan itu berubah sedikit. Hanya sedikit.
Maka, saat sakit begini, saya kembali teringat akan MMC di Solo. Saya merindukan senyum sapa yang diberikan cuma-cuma oleh para staff dan dokter disana. Padahal kami hanya mahasiswa, padahal ini gratis, tetapi mereka tidak pernah memasang muka suntuk atau kelelahan. Senym ramah mereka menjadi semacam oase bagi para pesakitan. Keramahan mereka serupa air sejuk yang membasuh kering. Kami merasa bahkan sakit kami berkurang sedikit padahal kami belum ditangan oleh dokter. Di MMC saya menemukan bahwa beginilah seharusnya sebuah pusat pelayanan kesehatan bekerja. Bekerja dengan hati.
5. Si Unyu
Si Unyu adalah nama sepeda ontel yang setia memperpanjang langkahku menyusuri daerah sekitaran kampus dan asrama. Warnanya ungu dan ukurannya mini. Aku membelinya di pasar Gading bersama Indah leih setahun yang lalu. Di Jawa, khususnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengendarai sepeda adalah lazim. Sepeda bukanlah simbol kelas sosial seseorang. Sehingga, pengendara sepeda tidak pernah merasa minder berkeliaran ditengah kota. Beda halnya dengan di sini, di Kendari. Umumnya, warganya memiliki gengsi yang sangat tinggi, sehingga jangankan sepeda, motor buluk pun mereka tak sudi lagi mengendarai.
Di Jawa, sepeda akrab bagi mereka yang kelas ekonominya diatas dan kelas ekonomi menengah maupun bawah. Sepeda memiliki tempat yang istimewa di sana. Ia merupakan simbol kesederhanaan yang telah menjadi urat nadi warganya. Anak kecil, remaja, dewasa dan manula biasa mengendarainya untuk ke sekolah, ke kampus, bahkan berkantor. Para pengayuh sepeda pun sangat diperhatikan oleh para pengendara kendaraan bermotor. Saya sendiri pernah megalami, ketika hendak menyebrang dengan sepeda, bahkan truk truk raksasa itu berhenti untuk membiarkan saya lewat, baru setelah itu kembali ngebut. Luar biasa. Hal yang berkebalikan 180 derajat dengan di Kendari, dimana pengguna sepeda diidentikkan dengan kemiskinan, sehingga para pelajar yang mengendarai sepedanya kejalan akan dipandang sebelah mata. Padahal, orang-orang di negara yang peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia lebih memilih bersepeda ketimbang kendaraan bermotor, dengan alasan kesehatan dan lingkungan,
Maka, setelah hampir sebulan tidak mengayuh sepeda, saya sangat merindukan si Unyu. Apa kabarmu, Unyu? Saya merindukan saat-saat bersama si Unyu menelusuri hijaunya sawah di pagi haru, dan menyambut sunset sembari mendengar nyanyian jangkrik, membaui aroma sawah yang khas. Hanya berdua si Unyu. Berdua saja. Damai sekali.
6. Perpus Pasca UMS dan Toko Buku Murah.
Perpus Pasca UMS bisa dibilang tempat tinggal keduaku di Solo. Aku menghabiskan banyak sekali waktuku disana. Pelayanan yang ramah dari Ibu Ana dan Pak Nur, fasilitas yang menyokong tempat ini, semangat belajar yang ku serap dari teman-teman pengunjung perpus membuatku betah sekali disini. Bukunya tertata rapi dan runut. Ruangan yang sejuk adalah hal lain yang memanjakan pengunjung. Sungguh, saya sangat merindukan berada dalam ruangan itu lagi. Karena di sini, saya tidak mendapatkan itu. T_T
Well, adalah hal yang menyakitkan membanding-bandingkan tempat lain dengan tempat kita sendiri, terlebih jika kita menjadi lebih memilih berdiam disana dibanding di rumah sendiri. Tetapi itulah faktanya. Dulunya saya sempat sebel ketika ada orang yang keluar dari daerahnya untuk sekolah, baik keluar negeri maupun dalam negeri, selalu pulang membanding-bandingkan kondisi di luar dan di sini. Saya merasa gemez dan terhina. tetapi, ketika saya mengalami sendiri, saya menjadi memahami perasaan itu. Benarlah, kita memang harus hijrah untuk mendapat pandangan dan pengetahuan baru. Kita harus bergerak untuk mendapatkan horizon yang lebih luas, hingga pulang, bisa membawa perubahan. Amin.
Postingan ini adalah lanjutan dari Postingan yang lalu, Disitu, saya sempat membuka perasaan saya yang merindukan Solo. Kalau yang lalu, kadarnya mungkin hanya 50% sekarang derajat kekangenan saya bahkan naik sampai 99%. Sedikit banyaknya bisul rindu ini dipicu oleh updatean teman-teman di Facebook, dan situasi di Kendari sendiri, dimana banyak hal-hal yang dengan mudah saya dapatkan di Solo, menjadi sesuatu yang langka disini. Mari kita ulas satu demi satu.
4. Pelayanan Kesehatan Gratis Bagi Mahasiswa UMS di Muhammadiyah Medical Center (MMC)
Menurut saya, apresiasi yang tinggi selayaknya dilayangkan untuk UMS karena sangat memperhatikan segala kebutuhan mahasiswanya, misalnya pelayanan kesehatan gratis. Ya, di UMS terdapat klinik dan apotik yang buka 24 jam, MMC, yang khusus dioperasikan bagi semua mahasiswa UMS tanpa perlu mengeluarkan satu rupiah pun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Mahasiswa cukup berpakaian layak (bersepatu) dan membawa kartu mahasiswa untuk mendapat pengobatan. Klinik itu, meski tidak terlalu besar, memiliki fasilitas yang lumayan lengkap. Ada beberapa dokter yang bergantian berjaga di klinik tersebut. Setiap shiftnya, sekurang-kurangnya 2 dokter selalu siaga di dua poli yang tersedia (poli umum dan poli gigi). Staff kesehatan dan apoteker juga selalu siap melayani dengan hati.
Sakit yang menderaku beberapa hari ini pulalah yang membuat rinduku pada Solo kian terasa menikam. Meski saya bersyukur bahwa saya berada dirumah, ditengah hangat peluk keluarga, tetapi ketika disuruh ke dokter, saya merasa enggan. Keengganan saya bukannya tanpa alasan. Sudah menjadi potret buram Kendari bahwa pelayanan kesehatan disini sangat jauh dari baik. Muka jutek para medical staffnya adalah salah satu derita tambahan yang harus dipikul pasien, apalagi mereka yang taraf ekonominya dibawah rata-rata. Bahkan, adikku yag waktu itu harus operasi di RSUD harus melewati birokrasi yang sangat bertele-tele dan harus menahan gondok mendapat pelayanan sebelah mata dari para petugas kesehatan disana. Saya sendiri menjadi saksi bahwa harga mentega dipasaran jauh lebih penting untuk mereka diskusikan dibanding mengurusi kamar adik saya. Nanti, ketika mereka melihat golongan eselon ibu saya, baru perlakuan itu berubah sedikit. Hanya sedikit.
Maka, saat sakit begini, saya kembali teringat akan MMC di Solo. Saya merindukan senyum sapa yang diberikan cuma-cuma oleh para staff dan dokter disana. Padahal kami hanya mahasiswa, padahal ini gratis, tetapi mereka tidak pernah memasang muka suntuk atau kelelahan. Senym ramah mereka menjadi semacam oase bagi para pesakitan. Keramahan mereka serupa air sejuk yang membasuh kering. Kami merasa bahkan sakit kami berkurang sedikit padahal kami belum ditangan oleh dokter. Di MMC saya menemukan bahwa beginilah seharusnya sebuah pusat pelayanan kesehatan bekerja. Bekerja dengan hati.
5. Si Unyu
Si Unyu adalah nama sepeda ontel yang setia memperpanjang langkahku menyusuri daerah sekitaran kampus dan asrama. Warnanya ungu dan ukurannya mini. Aku membelinya di pasar Gading bersama Indah leih setahun yang lalu. Di Jawa, khususnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengendarai sepeda adalah lazim. Sepeda bukanlah simbol kelas sosial seseorang. Sehingga, pengendara sepeda tidak pernah merasa minder berkeliaran ditengah kota. Beda halnya dengan di sini, di Kendari. Umumnya, warganya memiliki gengsi yang sangat tinggi, sehingga jangankan sepeda, motor buluk pun mereka tak sudi lagi mengendarai.
Di Jawa, sepeda akrab bagi mereka yang kelas ekonominya diatas dan kelas ekonomi menengah maupun bawah. Sepeda memiliki tempat yang istimewa di sana. Ia merupakan simbol kesederhanaan yang telah menjadi urat nadi warganya. Anak kecil, remaja, dewasa dan manula biasa mengendarainya untuk ke sekolah, ke kampus, bahkan berkantor. Para pengayuh sepeda pun sangat diperhatikan oleh para pengendara kendaraan bermotor. Saya sendiri pernah megalami, ketika hendak menyebrang dengan sepeda, bahkan truk truk raksasa itu berhenti untuk membiarkan saya lewat, baru setelah itu kembali ngebut. Luar biasa. Hal yang berkebalikan 180 derajat dengan di Kendari, dimana pengguna sepeda diidentikkan dengan kemiskinan, sehingga para pelajar yang mengendarai sepedanya kejalan akan dipandang sebelah mata. Padahal, orang-orang di negara yang peradabannya jauh lebih maju dari Indonesia lebih memilih bersepeda ketimbang kendaraan bermotor, dengan alasan kesehatan dan lingkungan,
Maka, setelah hampir sebulan tidak mengayuh sepeda, saya sangat merindukan si Unyu. Apa kabarmu, Unyu? Saya merindukan saat-saat bersama si Unyu menelusuri hijaunya sawah di pagi haru, dan menyambut sunset sembari mendengar nyanyian jangkrik, membaui aroma sawah yang khas. Hanya berdua si Unyu. Berdua saja. Damai sekali.
6. Perpus Pasca UMS dan Toko Buku Murah.
Perpus Pasca UMS bisa dibilang tempat tinggal keduaku di Solo. Aku menghabiskan banyak sekali waktuku disana. Pelayanan yang ramah dari Ibu Ana dan Pak Nur, fasilitas yang menyokong tempat ini, semangat belajar yang ku serap dari teman-teman pengunjung perpus membuatku betah sekali disini. Bukunya tertata rapi dan runut. Ruangan yang sejuk adalah hal lain yang memanjakan pengunjung. Sungguh, saya sangat merindukan berada dalam ruangan itu lagi. Karena di sini, saya tidak mendapatkan itu. T_T
Well, adalah hal yang menyakitkan membanding-bandingkan tempat lain dengan tempat kita sendiri, terlebih jika kita menjadi lebih memilih berdiam disana dibanding di rumah sendiri. Tetapi itulah faktanya. Dulunya saya sempat sebel ketika ada orang yang keluar dari daerahnya untuk sekolah, baik keluar negeri maupun dalam negeri, selalu pulang membanding-bandingkan kondisi di luar dan di sini. Saya merasa gemez dan terhina. tetapi, ketika saya mengalami sendiri, saya menjadi memahami perasaan itu. Benarlah, kita memang harus hijrah untuk mendapat pandangan dan pengetahuan baru. Kita harus bergerak untuk mendapatkan horizon yang lebih luas, hingga pulang, bisa membawa perubahan. Amin.
No comments:
Post a Comment