Di salah satu sudut kota,
kulihat bahunya bergetar menahan dingin.
Pada sang anjing, sahabatnya, ia berbagi sunyi dan lapar.
Pada belaianya dia memberi janji,
Janji yang ia khawatirkan akan bermakna kosong,
Tentang harapan akan esok yang mungkin tidak melulu tentang lapar.
Lalu, ada aku dengan hangat yang mengepul di kedua tangan.
Gagal gembira meski dentum-dentum di headsetku bernada ceria.
Kepalaku sibuk buta pada segala nikmat yang ada.
Grasak-grusuk merajuk pada Langit akan apa yang sebenarnya sudah jauh melampaui cukup.
Dan, deg... mataku bertemu matanya.
Mata yang menuduh dan menelanjangi pada saat yang bersamaan.
Tentang aku yang mulai lupa bagaimana caranya bersuyukur.
Tentang waktu yang kusia-siakan berlari dari rahmat-Nya.
Dan,... benarlah kiranya sang kitab suci.
Fabiayyi Aalaa i rabbikuma tukadzibaan?
kulihat bahunya bergetar menahan dingin.
Pada sang anjing, sahabatnya, ia berbagi sunyi dan lapar.
Pada belaianya dia memberi janji,
Janji yang ia khawatirkan akan bermakna kosong,
Tentang harapan akan esok yang mungkin tidak melulu tentang lapar.
Lalu, ada aku dengan hangat yang mengepul di kedua tangan.
Gagal gembira meski dentum-dentum di headsetku bernada ceria.
Kepalaku sibuk buta pada segala nikmat yang ada.
Grasak-grusuk merajuk pada Langit akan apa yang sebenarnya sudah jauh melampaui cukup.
Dan, deg... mataku bertemu matanya.
Mata yang menuduh dan menelanjangi pada saat yang bersamaan.
Tentang aku yang mulai lupa bagaimana caranya bersuyukur.
Tentang waktu yang kusia-siakan berlari dari rahmat-Nya.
Dan,... benarlah kiranya sang kitab suci.
Fabiayyi Aalaa i rabbikuma tukadzibaan?
No comments:
Post a Comment