Assalamualaikum. wr. wb.
Di kantin Pasca UMS, di meja bundar dekat pintu masuk ruang kuliah, aku pertama kali mengenalnya. Bersama dengan beberapa teman pasca lainnya, krasak krusuk menyusun strategi menghadap pak Dim, dalam rangka menanyakan kabar beasiswa yang belum juga kunjung cair, mengisi atm-atm kami. Dengan logat Bima yang kental, bergabung dengan logat Makssar K Badar, logat Sunda Agus, mereka sahut menyahut melakukan simulasi sebelum bertemu pak Dim. Saya dimana?? Saya ada di meja yang sama, tidak dapat berkata apa-apa karena setengah hidup menahan tawa. Mereka ini lucu sekali.
Selanjutnya, kebersamaan kami dipererat fakta bahwa kami sama-sama datang dari Indonesia bagian yang
bukan barat. Hidup di perantauan, dengan status mahasiswa membawa kami pada pengalaman seru berburu seminar gratis (atau lebih tepatnya pada snack atau makan siang yang disediakan oleh panitia,, heehee). Sebagai orang yang selalu memberitahu agenda-agenda seminar gratis di kampus, Dia kemudian kami nobatkan menjadi kepala suku perburuan seminar. Kami saling menrtawakan. Kami saling mencalla' (Bahasa bugis Makassar, artinya mengejek). Kami saling menjahit benang-benang persahabatan.
Lalu, dari rangkaian seminar itu, kami mendapat hadiah door prize istimewa dalam wujud Ibu Riz Ka. Wanita cantik, kharismatik, baik hati, dan supel itu mengikat kami menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Adalah perjalanan ke Tawang Mangu, adalah kepanikan jelang wisuda Bang Ridwan, adalah undangan makan-makan, jalan-jalan, dan karokean dari Ibu Riz ka memediasi kami untuk melukis harmoni persahabatan, yang insyaAllah tulus karena Allah. Kami saling belajar dari satu sama lain. Pada satu sama lain kami memetik buah kearifan yang semesta coba arahkan.
Dan, sampailah kami pada perjalanan terakhir sebelum ia kembali pulang menunai janji bakti pada kampung halaman. Perjalanan 3 hari 2 setengah malam Solo-Jember-Problinggo-Bromo-Probolinggo-Solo. Perjalanan yang mengungkap banyak rahasia. Perjalanan yang kaya akan parsel cantik untuk mengayakan batin. Perjalanan spektakuler untuk lebih mengenal diri sendiri, lebih mengenal Tuhan. Di Bromo, kami mengasah pribadi, mengukir sejarah, mengukir cinta. Dalam paket canda tawa yang dibungkus dingin Bromo, kami mebai'at nama masing-masing sahabat Bu Riz Ka, Ririn, K Rahma, Bang Ichlas, dan Irfan sebagai saudara.
Dan kemarin, waktumu di Jawa telah berakhir, Saudaraku. Kita berkirim SMS selamat tinggal dan selamat jalan. Dengan sedikit memaksa, kau meminta kami untuk menangis berjamaah melepasmu, hahahaha... (Bahkan sampai akhir pun kau masih setia menghadirkan tawa). In fact, saudaraku, tanpa kau minta pun air mata sejatinya tetap akan mengalir untukmu. Betapa kau telah begitu banyak mengambil porsi dalam pelukisan kanvas hidup kami selama di Jawa. Warna warnimu menghiasi dan membentuk lukisan pribadi kami, Brother. Jadi, janganlah sedih atas perpisahan sementara ini, tidak ada yang akan terlupa, karena semuanya begitu membekas, begitu berarti. Maka biarkan aku membekukan kisah kita sebagai kisah klasik untuk masa depan. Selamat kembali pulang, Bang Ichlas, jika ada umur panjang kita insyaAllah bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik, sudah jadi orang sukses, jadi pribadi yang lebih purna spiritually and intellectually, amen.
Di kantin Pasca UMS, di meja bundar dekat pintu masuk ruang kuliah, aku pertama kali mengenalnya. Bersama dengan beberapa teman pasca lainnya, krasak krusuk menyusun strategi menghadap pak Dim, dalam rangka menanyakan kabar beasiswa yang belum juga kunjung cair, mengisi atm-atm kami. Dengan logat Bima yang kental, bergabung dengan logat Makssar K Badar, logat Sunda Agus, mereka sahut menyahut melakukan simulasi sebelum bertemu pak Dim. Saya dimana?? Saya ada di meja yang sama, tidak dapat berkata apa-apa karena setengah hidup menahan tawa. Mereka ini lucu sekali.
Selanjutnya, kebersamaan kami dipererat fakta bahwa kami sama-sama datang dari Indonesia bagian yang
bukan barat. Hidup di perantauan, dengan status mahasiswa membawa kami pada pengalaman seru berburu seminar gratis (atau lebih tepatnya pada snack atau makan siang yang disediakan oleh panitia,, heehee). Sebagai orang yang selalu memberitahu agenda-agenda seminar gratis di kampus, Dia kemudian kami nobatkan menjadi kepala suku perburuan seminar. Kami saling menrtawakan. Kami saling mencalla' (Bahasa bugis Makassar, artinya mengejek). Kami saling menjahit benang-benang persahabatan.
Lalu, dari rangkaian seminar itu, kami mendapat hadiah door prize istimewa dalam wujud Ibu Riz Ka. Wanita cantik, kharismatik, baik hati, dan supel itu mengikat kami menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Adalah perjalanan ke Tawang Mangu, adalah kepanikan jelang wisuda Bang Ridwan, adalah undangan makan-makan, jalan-jalan, dan karokean dari Ibu Riz ka memediasi kami untuk melukis harmoni persahabatan, yang insyaAllah tulus karena Allah. Kami saling belajar dari satu sama lain. Pada satu sama lain kami memetik buah kearifan yang semesta coba arahkan.
Dan, sampailah kami pada perjalanan terakhir sebelum ia kembali pulang menunai janji bakti pada kampung halaman. Perjalanan 3 hari 2 setengah malam Solo-Jember-Problinggo-Bromo-Probolinggo-Solo. Perjalanan yang mengungkap banyak rahasia. Perjalanan yang kaya akan parsel cantik untuk mengayakan batin. Perjalanan spektakuler untuk lebih mengenal diri sendiri, lebih mengenal Tuhan. Di Bromo, kami mengasah pribadi, mengukir sejarah, mengukir cinta. Dalam paket canda tawa yang dibungkus dingin Bromo, kami mebai'at nama masing-masing sahabat Bu Riz Ka, Ririn, K Rahma, Bang Ichlas, dan Irfan sebagai saudara.
Dan kemarin, waktumu di Jawa telah berakhir, Saudaraku. Kita berkirim SMS selamat tinggal dan selamat jalan. Dengan sedikit memaksa, kau meminta kami untuk menangis berjamaah melepasmu, hahahaha... (Bahkan sampai akhir pun kau masih setia menghadirkan tawa). In fact, saudaraku, tanpa kau minta pun air mata sejatinya tetap akan mengalir untukmu. Betapa kau telah begitu banyak mengambil porsi dalam pelukisan kanvas hidup kami selama di Jawa. Warna warnimu menghiasi dan membentuk lukisan pribadi kami, Brother. Jadi, janganlah sedih atas perpisahan sementara ini, tidak ada yang akan terlupa, karena semuanya begitu membekas, begitu berarti. Maka biarkan aku membekukan kisah kita sebagai kisah klasik untuk masa depan. Selamat kembali pulang, Bang Ichlas, jika ada umur panjang kita insyaAllah bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik, sudah jadi orang sukses, jadi pribadi yang lebih purna spiritually and intellectually, amen.
No comments:
Post a Comment