Assalamualaikum.wr.wb
Hai, Juni... Di luar, langit memilih menyelimuti dirinya dengan awan yang lumaya tebal sore ini. Sesekali diperdengarkannya juga aumannya yang gemuruh. Dan, ah, rasakanlah belaian angin menggoda permukaan wajahku, betapa sensasinya semakin menimbun rindu.
Hai, Juni,,, aku tengah merindu pada banyak hal. Jika hendak diurut,
maka kerinduan untuk kembali mengukir senyum pada kedua wajah yang penuh kasih itu akan menempati podium utama. Satu-satunya cara yang dapat kulakukan untuk mewujudkannya adalah dengan merampungkan thesis dan berkemas pulang. sungguh butuh kesabaran yang berganda-ganda. Kesal dan kecewa selama proses konsultasi seakan berlomba menegatifkan hati. astagfirullahaladz
Lalu, ada hantaman rindu untuk kembali merdeka menjadi diri sendiri. Salah satu kemewahan sederhana yang belakangan agak susah ku kecap. Aku rindu saat-saat aku bisa mengeluarkan apa yang ku rasa, apapun itu, berita bahagia, perasaan sedih, marah, kecewa, tersinggung, dan sebagainya tanpa harus takut melukai perasaan orang lain. Saya menjadi lumayan lelah untuk berpura-pura tersenyum, saat hati mangkel luar biasa. Sungguh, ada kalanya saya ingin membagi bahagia tanpa harus takut dibilang sombong atau pamer. Saya hanya ingin menularkan senyum. Saya ingin mereka juga bahagia oleh bahagiaku. Tetapi itu rupanya keinginan yang berlebihan bagi beberapa orang. Saya pun harus menelan kekecewaan karena tidak diperlakukan sebagaimana saya memperlakukan mereka ketika mereka berbagi kabar bahagianya.
Saya juga ingin berhenti menjadi pendengar yang baik sesekali waktu. Ada kalanya saya hanya ingin berkarib dengan sepi. Saya pun benci harus selalu terpaksa mengatakan apa yang tak sesuai dengan hati nurani hanya demi memanjakan perasaan teman saya. Saya tidak marah kepada mereka. Saya lebih marah ke diri sendiri sebenarnya. saya tersiksa karena tidak bisa jujur tanpa melukai perasaan orang lain. Saya benci harus menjadi penyebab sedihnya orang lain. Tetapi Saya tidak ingin membenci diri saya sendiri karena telah menjadi munafik, dengan terus-menerus seperti ini, arggghhhh...
Dan ketika kau bertanya apa atau siapa yang menempati podium ketiga atas tangga kerinduanku, maka dengan lantang aku akan menyebut kampung halaman, dimana cinta dan kasih sayang seakan tidak pernah kehabisan stok untuk dibagikan. Seperti dermawannya mata air zam-zam yang tak henti mengalirkan sejuk. Tanpa mengharap pamrih. Tanpa memandang apa yang kau pakai. ya, cinta yang mata airnya berhulu dari rumah sederhana itu, rumah yang dibangun atas nama cinta oleh kedua orang tuaku. Ah, aku ingin segera pulang.
Dan tentu saja, seperti yang sudah-sudah, rindu ini juga dialamatkan untukmu. Dimanapun pergerakan bumi menempatkan kita, selalu ada ingin untuk kembali menghapus jarak denganmu. Aku tak tahu apa yang semesta coba ajari pada kita dengan membentang laut dan daratan diantara kita. Mungkin, kita disuruh mendandani diri dulu, mengayakan pribadi dulu, dengan buah-buahan kearifan yang kita petik sepanjang perjalanan yang mendekatkan pertemuan denganmu. Mungkin kita disuruh membenahi rak-rak pengetahuan kita dulu, memurnakan iman kita dengan tempaan tangan-tangan cobaan, agar kita dapat saling memantaskan diri, agar kita saling bangga, agar kita dapat langsung saling mengenali diri masing-masing jika penjaga atas nama waktu membimbing kita untuk akhirnya berjumpa, saling menatap, tersenyum dan jatuh cinta. Saat tatapan kita kelak berpadu, kau akan tahu akulah yang kau tunggu. aku pun demikian, hatiku akan tahu kaulah itu yang selalu kurindukan. Karena katanya, kau adalah cerminan sempurna dariku. Begitupun, aku yang adalah cermin jujur akan siapa dirimu sebenarnya.
Hai, Juni... Di luar, langit memilih menyelimuti dirinya dengan awan yang lumaya tebal sore ini. Sesekali diperdengarkannya juga aumannya yang gemuruh. Dan, ah, rasakanlah belaian angin menggoda permukaan wajahku, betapa sensasinya semakin menimbun rindu.
Hai, Juni,,, aku tengah merindu pada banyak hal. Jika hendak diurut,
maka kerinduan untuk kembali mengukir senyum pada kedua wajah yang penuh kasih itu akan menempati podium utama. Satu-satunya cara yang dapat kulakukan untuk mewujudkannya adalah dengan merampungkan thesis dan berkemas pulang. sungguh butuh kesabaran yang berganda-ganda. Kesal dan kecewa selama proses konsultasi seakan berlomba menegatifkan hati. astagfirullahaladz
Lalu, ada hantaman rindu untuk kembali merdeka menjadi diri sendiri. Salah satu kemewahan sederhana yang belakangan agak susah ku kecap. Aku rindu saat-saat aku bisa mengeluarkan apa yang ku rasa, apapun itu, berita bahagia, perasaan sedih, marah, kecewa, tersinggung, dan sebagainya tanpa harus takut melukai perasaan orang lain. Saya menjadi lumayan lelah untuk berpura-pura tersenyum, saat hati mangkel luar biasa. Sungguh, ada kalanya saya ingin membagi bahagia tanpa harus takut dibilang sombong atau pamer. Saya hanya ingin menularkan senyum. Saya ingin mereka juga bahagia oleh bahagiaku. Tetapi itu rupanya keinginan yang berlebihan bagi beberapa orang. Saya pun harus menelan kekecewaan karena tidak diperlakukan sebagaimana saya memperlakukan mereka ketika mereka berbagi kabar bahagianya.
Saya juga ingin berhenti menjadi pendengar yang baik sesekali waktu. Ada kalanya saya hanya ingin berkarib dengan sepi. Saya pun benci harus selalu terpaksa mengatakan apa yang tak sesuai dengan hati nurani hanya demi memanjakan perasaan teman saya. Saya tidak marah kepada mereka. Saya lebih marah ke diri sendiri sebenarnya. saya tersiksa karena tidak bisa jujur tanpa melukai perasaan orang lain. Saya benci harus menjadi penyebab sedihnya orang lain. Tetapi Saya tidak ingin membenci diri saya sendiri karena telah menjadi munafik, dengan terus-menerus seperti ini, arggghhhh...
Dan ketika kau bertanya apa atau siapa yang menempati podium ketiga atas tangga kerinduanku, maka dengan lantang aku akan menyebut kampung halaman, dimana cinta dan kasih sayang seakan tidak pernah kehabisan stok untuk dibagikan. Seperti dermawannya mata air zam-zam yang tak henti mengalirkan sejuk. Tanpa mengharap pamrih. Tanpa memandang apa yang kau pakai. ya, cinta yang mata airnya berhulu dari rumah sederhana itu, rumah yang dibangun atas nama cinta oleh kedua orang tuaku. Ah, aku ingin segera pulang.
Dan tentu saja, seperti yang sudah-sudah, rindu ini juga dialamatkan untukmu. Dimanapun pergerakan bumi menempatkan kita, selalu ada ingin untuk kembali menghapus jarak denganmu. Aku tak tahu apa yang semesta coba ajari pada kita dengan membentang laut dan daratan diantara kita. Mungkin, kita disuruh mendandani diri dulu, mengayakan pribadi dulu, dengan buah-buahan kearifan yang kita petik sepanjang perjalanan yang mendekatkan pertemuan denganmu. Mungkin kita disuruh membenahi rak-rak pengetahuan kita dulu, memurnakan iman kita dengan tempaan tangan-tangan cobaan, agar kita dapat saling memantaskan diri, agar kita saling bangga, agar kita dapat langsung saling mengenali diri masing-masing jika penjaga atas nama waktu membimbing kita untuk akhirnya berjumpa, saling menatap, tersenyum dan jatuh cinta. Saat tatapan kita kelak berpadu, kau akan tahu akulah yang kau tunggu. aku pun demikian, hatiku akan tahu kaulah itu yang selalu kurindukan. Karena katanya, kau adalah cerminan sempurna dariku. Begitupun, aku yang adalah cermin jujur akan siapa dirimu sebenarnya.
No comments:
Post a Comment