Assalamualaikum. Wr. Wb.
Aku memiliki kebiasaan baru yang menambah daftar ritual menjelang tidurku akhir-akhir ini. Membayangkan seperti apa sih rupa setiap tempat yang telah kupijak hari ini, berjuta-juta tahun yang lalu. Tidak tahu dari mana ini bermula. Aku pun tidak pernah berletih-letih menyusuri arus waktu hanya untuk menemukan hilir kebiasaan baruku ini. Tebakan asalku mengatakan mungkin saja issu ini masuk ke kepalaku dalam perjalanan menuju Grojongan Sewu beberapa hari yang lalu. Kala itu, ketika pikiran kami melayang menembus kaca taksi Avanza itu, ketika imajinasi kami melayang keluar dari celah yang bernama kelopak mata, berkelana, berkeliaran disela-sela hijau pepohonan dan hamparan padi, merekam semua yang ada untuk ditransmisikan dalam layar imaji kami masing-masing, supir taksi yang kami tumpangi itu, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba menyinggung sesuatu tentang Ken Arok, Ken Dedes,
sekelebat nama-nama pendekar sakti mandraguna dijaman kerajaan nusantara jauuh sebelum negara Indonesia lahir didunia. Diskusi pun akhirnya mengalir ketika Ibu Riz turut berkomentar membawa alur cerita mundur pada zaman yang bahkan lebih kuno lagi.
sekelebat nama-nama pendekar sakti mandraguna dijaman kerajaan nusantara jauuh sebelum negara Indonesia lahir didunia. Diskusi pun akhirnya mengalir ketika Ibu Riz turut berkomentar membawa alur cerita mundur pada zaman yang bahkan lebih kuno lagi.
Pikiranku pun seketika mencoba memvisualisasikan "wajah" tempat ini pada masa itu. Aku sibuk mengira-ngira, bagaimana misterusnya tempat ini pada masa itu. Benakku membayangkan mahluk apa saja yang mendiami tempat ini. Mungkin duluuu sekali para pendekar pernah berkelebat, meloncat dari satu pohon ke pohon lain untuk berkelana. Mungkin mereka tidak menjejak tanah. Ataukah dulunya di kawasan ini adalah sarangnya mahluk halus? Atau lebih jauh lagi, apakah Dinosaurus Cs pernah beranak pinak disini? Aku mendongak mempelajari langit, langit yang sama yang menyaksikan apapun yang pernah terjadi dimasa lalu. Sudah seberapa tuakah bumi ini? Aku kemudian meminta ijin untuk mematika AC mobil dan menurunkan kaca, merasakan tekstur angin pada wajahku, bertanya-tanya apakah ini angin yang sama yang juga pernah bersentuhan dengan kulit Dinosaurus? Oh, aku langsung ingin memiliki kemampuan bisa berbicara dengan angin.
Jika saja aku adalah Nobita yang memiliki mesin waktu di laci meja belajarku, maka aku tanpa ragu akan melesat ke masa itu untuk menyaksikan sendiri bagaimana bumi ditempatku berpijak sekarang sebelum bermetamorphosis menjadi sekarang ini. Aku menghkayalkan sebuah tempat berkontempelasi di ketinggian pucuk pohon berdiameter raksasa yang sudah sangat tua. Dari sana aku akan dapat menyaksikan pertunjukan ombak yang menjingga saat matahari bergulir dibatas horizon. Aku juga akan menghitung menit sakral itu sementara indra dengarku dimanjakan oleh berbait-bait mantra yang ditasbihkan makhluk-makhluk penyambut kegelapan juga kaokan burung-burung yang mengabarkan kepulangannya pada anak-anaknya. Aku akan menyempatkan waktuku untuk berbagi rahasia pada semilir angin. Aku membayangkan kehidupan rimba yang seimbang, seperti seharusnya, seperti yang mungkin bumi impikan.
Dalam sekuel keempat Supernova, Dee-melalui karakter Firas, percaya bahwa bumi itu bukanlah semata benda mati yang lemah dan pasrah yang menerima apapun perlakuan manusia kepadanya. Lebih dari itu, bumi adalah mahluk hidup itu sendiri, yang diatas tubuhnya beranakpinaklah berbagai mahluk hidup. Secara sepintas, dalam pandangan Firas, "orang-orang yang dibuat lupa" akan menyangka bahwa bumi dan kehidupan yang menumpang dibahunya adalah sesuatu yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Namun, sejatinya keduanya adalah satu. Jadi sangatlah tepat jika dikatakan bahwa ketika manusia (yang merupakan bagian dari kehidupan diatas bumi) semena-mena merusak tatanan yang sudah ada, maka dia pada dasarnya telah merusak dirinya sendiri. Bukankah manusia dan bumi adalah satu badan? (interpretasi saya akan buah fikir Firas, hal: 24).
Dan aku pun kembali berandai-andai, jika Firas ternyata benar tentang pertalian hakiki antara bumi dan segala aspek kehidupan diatasnya, apakah yang dirasakan bumi, ketika ada tangan-tangan kejam yang memangkas habis hampir bulu-bulu badannya, dan menggantikannya dengan beton-beton pencakar langit? Tidak kesakitankah ia ketika organ dalam tubuhnya dioperasi oleh bor-bor baja? Kalau benar bumi ini adalah mahluk hidup, maka alangkah menderitanya ia ketika organ-organnya dipreteli bahkan tanpa suntikan bius terlebih dahulu. Adikku, bulan kemarin harus menjalani operasi. Dan katanya, hanya tuhan yang tahu betapa sakitnya luka pasca operasi yang harus ditanggungnya. Lalu, kalau adikku saja, yang menjalani operasi kecil tersebut merasakan kesakitan yang luar biasa padahal sudah disuntikkan bat bius, tidak terbayang kesakitan yang harus dipikul bumi. Membayangkannya saja ngeri.
Lalu disinilah aku sekarang, memandangi apa saja yang ada di kantin kampus ini. Melihat meja, kursi, lift, tv, sendok, garpu, tas, mahasiswa, tong sampah, earphone, notebook, dan sepatuku. Kesemuanya ini kan bagian dari tubuh bumi yang telah dimutilasi. Disuatu sisi aku merasakan prihatin yang teramat sangat terhadap bumi sehingga membuatku hampir memikul rasa bersalah yang tak terperi karena telah secara aktif ikut menikmati segala yang tersedia saat ini. Tetapi disisi lain aku menyadari bahwa, hal-hal seperti kampus atau simbol-simbol peradaban lainnya memang dibutuhkan oleh bumi sebagai penanda dalam menjalani kehidupannya yang semakin uzur. Mungkin semuanya ini hanyalah serupa uban yang menyimbolkan bahwa umur seseorang sudah tidak lama lagi. Lalu kalau begitu apakah bumi ini adalah mahluk kanibal yang bertahan hidup dengan memakan organ tubuhnya sendiri?
~sejujurnya aku masih belum memahami alasan mengapa aku malah berkonsentrasi memikirkan ini pada saat seharusnya aku menyusun thesisku...
No comments:
Post a Comment