Taken from here |
Saya sedang menyaksikan Kota Medan yang dibakar matahari lewat jendela kaca yang besar dalam sebuah kafe, dimana pendingin ruangan menghembuskan kesejukan. Segelas Pandan Latte membasahi kerongkongan saya dan pendengaran saya dibelai alunan suara Lyodra yang mengalun merdu. Di luar, di bawah terik itu, tampak hilir mudik kendaraan lalu lalang. Ada truk-truk besar yang seakan mengintimidasi kendaraan lainnya. Lalu, beberapa kali melintas pengendara motor yang ugal-ugalan, berbocengan bertiga bahkan berempat tanpa memakai helm, dengan suara knalpot yang mengundang cacian orang-orang yang mendengarkan. Ada juga beberapa bentor butut yang terus tak gentar mengarungi jalanan yang brutalnya hampir sama dengan jalanan Makassar demi beberapa lembaran rupiah. Saya bisa melihat peluh membasahi membasahi wajah dan baju bapak-bapak pengemudi bentor tersebut. Saya tak bisa melihat dengan jelas raut wajahnya, namun pikiran saya otomatis bisa memproyeksikan kerut-kerut perjuangan di wajah-wajah itu.
Dan saya pun menyadari, bahwa bagi kebanyakan orang, tidak ada pilihan lain selain berjuang. Bagi sebagian orang, tidak ada privileges untuk mengeluhkan nasibnya yang kurang beruntung. Yang ada hanya opsi maju terus jalani satu-satu. Sementara bagi sebagian orang yang lainnya, termasuk saya, kadang terlalu sering larut dalam kegalauan yang mungkin tidak perlu dan bisa dihindari. Saya jadi ingat kata-kata seorang komika idola saya, Pandji Pragiwaksono, pernah berkata, kadang kita tuh merasa berat akan permasalahan hidup karena kita selalu merasa bahwa kita harus tau solusinya. Padahal, sebenarnya masalah itu pada akhirnya akan terurai sendiri pada akhirnya. Kita hanya perlu bertahan, hari demi harinya. Lakukan apa yang bsia dilakukan dan udah. Asal jangan berhenti, asal jangan putus asa. Dan terimalah kemana alur hidup membawa langkah kita.
Nah, mungkin itulah yang saya harus lakukan saat ini. Saat kepala terlalu berisik dengan kegalauan yang tidak berujung, mungkin saya hanya perlu menambah volume headset saya untuk meredam suara-suara destruksif itu, lalu fokus mengerjakan disertasi saya. Satu satu, yang di depan mata saja dulu. Satu-satu, seperti kata Hindia.
Medan, 29 Oktober 2022.
No comments:
Post a Comment