Asalamualaikum. Wr. Wb.
Srettt, pintu kugeser sedikit dan huaaa... langit sudah sangat cerah
rupanya. Saya merasa silau. Wajar saja sih, sudah jam setengah sepuluh ini.
Tadi, habis bangun tidur, saya menskip
agenda sarapan dan langsung tancap gas menghabiskan novel yang baru dua
lembar terbaca semalam. Novel yang baru
saya khatamkan ini ditulis oleh Ollie. Judulnya Cinta, tetapi dibawahnya ada tulisan
kecil yang berbunyi: ‘Sebuah rumah untuk
hatimu’. Entalah beberapa hari belakangan ini, saya begitu sering memikirkan
tentang rumah. Rumah masa depan tepatnya. Makanya, pas melihat ada novel ini
tergeletak begitu saja di kamar yang sudah hampir 3 bulan kutinggalkan ini,
saya
langsung tertarik membacanya. Pertama karena saya suka dengan warnanya.
Hijau yang pas untuk selera saya, plus ada kata-kata ‘rumah untuh hatimu’nya.
Ceritanya sangat sederhana, tapi saya suka cara penulis
mengalirkan plotnya. Bahasa yang digunakan juga renyah dan sangat enak diikuti.
Intinya adalah tentang seorang wanita urban yang baru saja menikah dengan
seorang pria yang sederhana dan memiliki latar belakang ekonomi yang cukup
berbeda. Yang wanita sibuk dengan kehidupan sosialitanya, yang pria setengah
mati merindukan suasana kekeluargaan yang hangat. Keduanya sedang dilanda begitu
tergila-gila satu sama lain sehingga mereka berusaha sekuat mungkin untuk
saling menyesuaikan diri, putting the ego in the last priority. Ini tentu saja
tidak mudah, tetapi keduanya terus berusaha. So sweeeettt... Konfliknya adalah
ketika si Suami ini dimutasi ke daerah atas nama Kupang, dan si wanita kemudian
mengalami dilemma dan kegalauan saat harus memutuskan untuk ikut dan
meninggalkan semua yang dia miliki di Jakarta, karir, teman-temannya, dan
kehidupan chicnya. Saya tidak akan
terlalu detail tentang ceritanya, silahkan dibaca sendiri. Intinya, saya suka
novel ini. Sebuah rumah untuk hatimu, katanya... Duhh,, so romantic...
Hmm,,, ngomong-ngomong soal rumah, saya sudah dua hari ini kembali
lagi ke Solo. Sudah disepakati secara umum kalau rumah itu dalam bahasa inggris
bias digambarkan lewat dua kata. House
and home. House is made of rock meanwhile home is made of love. Ketika saya
masih di Kendari, saya berfikir bahwa this
is my home, the place where I belong. Kota kecil dimana keluarga, sahabat
dan pekerjaanku berada. Saya di Kendari hampir 3 bulan, dan mulai merasa sangat
nyaman dengan kota itu lagi. Maka, perjalanan kembali ke Solo begitu
menyesakkan dada. Perasaan akan meninggalkan orang-orang yang dicintai bukanlah
sesuatu yang menyenangkan.
Saya tiba di Solo pada hari Senin dini hari, setelah meretas
perjalanan dari Surabaya semalaman. Rasa lelah yang teramat sangat
menyingkirkan perasaan hampa saat memasuki kamar yang tak berpenghuni ini. Tetapi
ketika saya terbangun, rindu itu mulai menikam-nikam ulu hati. Saya menyerah
pada tangis selama beberapa saat. Bahkan, untuk lebih mendramatisir suasana,
saya memutar lagu-lagu mellow yang mengingatkan saya akan segalanya tentang
Kendari. Tak puas hanya dengan itu, saya kembali menekuri foto-foto di kamera
saya. Momen-momen bersama keluarga dan sahabat seakan diputar kembali didalam
kepalaku. Huhuhuhuu... I was totally gloomy, but surprisingly, I enjoyed it
though... Rapat dengan Pak Muslich jam sepuluh kembali menekan perasaan mellow
itu, Tetapi, usai itu, saya kembali berbungkus rindu. Saya menelepon Mama,
adik, dan sahabat saya, sist Amince, untuk berkeluh kesah. As always, Amince
dengan sukses kembali menenangkan saya. “Cool
down, sist, besok juga pasti lupa kalau dirimu sudah ke kampus sibuk urus
thesis lagi” kata dia.
Dan benarlah, setelah puas bersedih-sedih ria (emang ada ya,
bersedih ria?? Hehehe :P), saya memutuskan untuk keluar ‘kandang’ sore harinya.
Dan tersadarlah saya, bahwa orang bisa saja memiliki lebih dari satu home. Ketika, bersama sepedaku, saya
berputar-putar menikmati senja, menyambut sunset dari pematang sawah, mengamati
bapak-bapak bertopi jerami memulangkan itik-itiknya, mendapati anggukan dan
senyuman ramah itu lagi dari orang-orang yang saya temui padahal kami tak
saling kenal, saya menyadari, I am
already at home.
Families in SOlo: Irvan, Mb Nikma, Me, and K Titin, K badar was taking the pic |
Keesokan hariya, saya malah sudah tidak ingat lagi pada kangen
yang menggigilkan itu, hehehe... You’ve
been totally right, Mince... Ketika menapakkan kami di kampus ini lagi,
saya menyadari, betapa saya juga rupanya merindukan Solo. Tempat steak favorit
saya, kantin kampus, perpustakaan, happy puppy, ternyata saya merindukan itu
semua. Bukan pada makanan, buku atau pun fasilitasnya, tetapi pada senyum ramah
orang-orangnya. Pada canda twa dengan sahabat-sahabat di sini. Dipagi hari,
kicauan Indra Bekti di Selamat BeGinya Prambors kembali dapat kunikmati. Di
Kendari sebenarnya saya juga bisa menikmatinya melalui streaming, tetapi
koneksi internet yang buruk membuatku lebih memilih winamp. Suara azan yang
menggelegar dari mushollah di bawah juga mengaktifkan perasaan nyaman padaku.
Yeah hal-hal seperti itulah yang mebuat saya menemukan kembali perasaan‘it
feels like home’ku, or even feeling of better than home?
Well,
the point is whenever we are, we always can make our own home, since love, as
the main material of making home, doesn’t exist in only one place like Kendari.
It is in everywhere as long as you let your heart open for it... ^^
No comments:
Post a Comment